Apakah Novel Jawa mulai Ilang Jawane?. Ilustrasi Cover Novel Jawa
Karya sastra Jawa terkenal mempunyai beragam bentuk. Salah satunya adalah novel Jawa. Novel Jawa selaku salah satu produk kesusastraan Jawa mengalami perkembangan sama halnya dengan kesusastraan Jawa lainnya.
Perkembangan itu terlihat dari bentuk novel Jawa dahulu yang berupa novel saku dijual di terminal maupun tempat-tempat keramaian, hingga saat ini novel-novel tersebut sudah berupa buku dan dijual di beberapa toko buku baik itu offline maupun online. Pengarang novel Jawa pun ada pada “masanya.” Mulai dari Any Asmara, Suparto Brata, hingga sekarang muncul sosok Tulus Setiyadi sebagai pengarang novel Jawa.
Maylingga Vainggita Muharrom, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan dan Sastra Jawa Universitas Sebelas Maret (UNS) angkatan 2015 menilai dengan perkembangan seperti itu, seharusnya ada cahaya terang akan masa depan novel Jawa. Namun pada kenyataannya, novel Jawa sendiri seperti “mati suri,” kurang diminati oleh masyarakat Jawa sebagai sasaran bacanya.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Agit, sapaan akrab mahasiswa asli Ngawi ini, banyak hal yang menjadi dasar dari mati surinya novel Jawa, salah satunya adalah ketidakmampuan pengarang novel Jawa mengikuti arah gerak pasar sehingga tema dan cerita novel Jawa dari dulu sampai saat ini masih berkutat di situ-situ saja.
Agit mengamati beberapa novel lama karya Suparto Brata dan beberapa novel baru karya dari Tulus Setiyadi, serta beberapa novel karya pengarang lain memiliki kesamaan tema cerita, di mana mayoritas bertema tentang percintaan. Ketidakmampuan mengikuti keinginan pasar ini ditambah pula dengan isi dari beberapa novel Jawa yang 18+ serta berisi kata-kata yang seharusnya tidak layak.
“Novel Jawa seharusnya menjadi cerminan dari budaya masyarakat Jawa yang sopan dan santun, bukan malah menunjukkan hal yang bertolak belakang dengan budaya masyarakat tersebut,” terang Agit yang merupakan Ketua Forum Silaturrohmi Mahasiswa Ngawi (Forsmawi) daerah Solo ini.
Ia contohkan pada sebuah novel lama berjudul “Wong Wadon Dinarsih” karya Tamsir A.S yang salah satu ceritanya berisikan tentang seorang perempuan yang menjadi wanita penghibur atau novel baru “Udan ing Wanci Ketiga” karya Tulus Setiyadi yang berisikan hubungan “terlarang”.
Walaupun hanya sedikit dikupas dari keseluruhan isi novel tersebut, isi novel yang seperti ini bukanlah cerminan dari masyarakat Jawa yang kita tahu sendiri selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kesopansantunan. Selain itu dalam novel “Udan ing Wanci Ketiga” juga terdapat banyak kata-kata makian yang parahnya diucapkan oleh seorang wanita yang seharusnya berperilaku santun.
Sementara itu, “Novel Asmarani” karya Suparto Brata sendiri juga berisikan tentang sesuatu yang bukan merupakan cerminan dari masyarakat Jawa, yaitu ketika Asmarani menggoda gurunya yang sedang membaca surat kabar.
“Seorang siswa seharusnya menghormati gurunya, baik itu di dalam maupun di luar lingkungan sekolah, sehingga isi novel tersebut bukan merupakan gambaran dari masyarakat Jawa pada khususnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopansantunan,” urai Agit.
Novel-novel Jawa sebagai salah satu bentuk kesusastraan Jawa harusnya mampu menjadi penggerak bangkitnya kesusastraan Jawa dengan memaparkan isi yang sesuai dengan keinginan pasar serta menunjukkan sisi “Kejawaannya”.
Memang tidak semua novel Jawa memberikan gambaran tentang hal yang kurang santun. Namun jika sampai besok tema dan cerita dari novel-novel Jawa masih berisikan hal-hal yang bertolak belakang dengan budaya masyarakat Jawa, sepertinya harus dilakukan perbaikan. Jika kita sebagai masyarakat Jawa tak acuh dengan hal tersebut, dapat diberikan satu pertanyaan besar bagi kita semua, apakah Novel Jawa mulai ilang Jawane?. (kn/cse)