Tidak mudah bagi tim penyidik kejaksaan menyudahi penanganan dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) 2011. Meski sudah menetapkan dua tersangka, direktur CV Arta Giri Kencana (AGK) Edy Haryono dan Sakri Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek perpustakaan lima SD di Kecamatan Pitu, penyidikan masih jalan di tempat alias mandek. Belum ada tanda-tanda Kejari melimpahkan perkara yang menyedot perhatian publik itu ke meja Tipikor Surabaya. ‘’Kami masih menunggu audit kerugian negara dari BPKP. Sehingga belum dilimpahkan ke pengadilan,’’ terang kasi Pidsus Kejari Ngawi I Ketut Swarbawa.
Korupsi DAK Terganjal Audit BPKP. Penyidik sudah menyodorkan unsur penyebab kerugian ke BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) Jatim sejak akhir tahun lalu. Karena proses audit bersifat independen, lembaga Adhyaksa tak bisa melakukan intervensi atau deadline. Kewenangan sepenuhnya diserahkan BPKP. ‘’Karena tidak hanya Ngawi saja yang membutuhkan jasa audit BPKP. Setiap kejaksaan yang menangani dugaan korupsi juga harus melengkapi syarat itu,’’ jelasnya.
Upaya kejaksaan untuk menghitung kerugian proyek senilai Rp 498 juta itu tidak hanya dari BPKP. Ketut juga meminta rekomendasi dari tim ahli Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Hanya saja objek penghitungan sebatas selisih material fisik bangunan dengan spesifikasi perencanaan awal. ‘’Tim dari UNS hanya menyampaikan secara teknis dari hasil pengujian di lapangan diketahui kerugiannya Rp 129 juta,’’ungkapnya.
Ketut menambahkan status tersangka yang menyemat pada Sakri tidak serta merta dibarengi dengan pemeriksaan. Pejabat yang sekarang menduduki kursi sekretaris Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertran) belum sekalipun berhadapan dengan jaksa pasca penetapan tersangka. Alasannya klasik. Masih melengkapi pembuktian dan menambah keterangan ahli dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP). ‘’Kalau kami inginnya cepat. Beban juga kalau lama-lama. Tapi kami belum dapat berkomentar terkait target. Takutnya meleset,’’ paparnya.
Sementara, lambannya proses hukum yang mengiringi ambruknya perpustakaan SDN Ngancar membuat ratusan siswa hanya bisa gigit jari. Mereka tidak dapat merasakan fasilitas perpustakaan representatif tersebut. Bangunan perpustakaan hampir rata dengan tanah, buku cuma ditumpuk di ruang UKS sebagai penyimpanan. ‘’Ya mau bagaimana lagi. Akan diperbaiki juga menunggu kepastian kasus itu. Sementara ya biar di sana dulu,’’ kata Heri Prasetyo salah seorang guru kelas IV SDN Ngancar.
Buku yang tersimpan di ruang perpustakaan itu banyak yang rusak. Sebanyak 50 persen koleksi tidak dapat diselamatkan. Buku hancur terkena air dan bercampur dengan material reruntuhan material perpustakaan. Hingga separuh koleksi sempat dilakukan penjemuran di lapangan baru kemudian disimpan di UKS. ‘’Jadi masih campur-campur. Sementara biar aman dulu,’’ tegasnya.
Pihak sekolah akan mengusulkan untuk pembangunan ulang bila proses hukum sudah klir. Ini untuk memfasilitasi anak didiknya yang suka membaca. Sejak perpustakaan ambruk, sudah tidak ada lokasi yang nyaman untuk menyalurkan hobi membaca. ‘’Semoga segera dibangun lagi dengan kualitas yang lebih baik,’’ cetusnya.
Alfa ZH salah seorang siswa kelas IV SDN Ngancar mengatakan sejak ambruk 10 bulan lalu, siswa tidak dapat menyalurkan hobi membaca. Karena sekolah tidak lagi menyediakan ruang membaca layaknya perpustakaan. Buku hanya ditumpuk di ruang UKS. ‘’Sekarang bacanya di rumah. Kalau dulu pernah buka sampai sore perpus-nya. Saat ini tidak dapat lagi,’’ pungkasnya.
|RadarMadiun