Anak adalah tumpuan dan harapan orang tua. Anak jugalah yang akan menjadi penerus bangsa ini. Sedianya, wajib dilindungi maupun diberikan kasih sayang. Namun fakta berbicara lain. Maraknya kasus kekerasan pada anak sejak beberapa tahun ini seolah membalikkan pendapat bahwa anak perlu dilindungi. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga, lingkungan maupun masyarakat dewasa ini.
Seperti yang dirilis dari Badan Perlindungan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kabupaten Ngawi, angka kekerasan terhadap anak atau perkara anak berhadapan dengan hukum (ABH) dari tahun 2013 lalu hingga sekarang secara umum trendnya mengalami penurunan. Tetapi dilihat dari triwulan pertama sampai April 2016 tercatat ada 29 kasus tentunya tidak sebanding dengan jumlah kekerasan dari tiga tahun sebelumnya.
Mendasar data ABH mulai perkara penganiayaan, pencurian, penelantaran, penculikan hingga kekerasan seksual dari tahun 2013 sampai 2015 mengalami penurunan angka. Tahun 2013 tercatat ada 38 kasus dan setahun kemudian 2014 ada 36 kasus kemudian tahun 2015 menjadi 35 kasus. Akan tetapi untuk kasus pencabulan selama dua tahun terakhir grafiknya mengalami kenaikan angka.
“Berbagai jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti kekerasan verbal, fisik, mental maupun pelecehan seksual. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan si anak. Dengan demikian coba kita telaah sejauh mana peran orang tua,” kata Indah Kusumawardhani Kepala BPPKB Kabupaten Ngawi, Kamis (19/05) seperti dilansir SiagaNgawi
Danik-sapaan akrabnya mengatakan, meningkatnya angka kejahatan seksual yang menjadi bagian dari kekerasan anak perlu kewaspadaan dari orang tua. Karena apabila pihak orang tua terlena sangat berpotensi dan memicu si anak menjadi korban kejahatan seksual. Kata dia, akhir-akhir ini ada beberapa kesalahan yang dibuat orang tua terhadap anak tanpa disadari termasuk orangtua membiarkan anak bermain dan berinteraksi dengan siapapun dan di manapun tanpa pantauan memadai.
Danik berpendapat, jika si anak salah berteman akan rentan menjadi korban bahkan menjadi pelaku kejahatan seksual. Terlebih, banyak orangtua membiarkan anak berkomunikasi via media sosial tanpa pantauan yang ketat dan memadai. Sehingga para pelaku kejahatan terlalu mudahnya merayu korban yang notabene anak dibawah umur dengan memanfaatkan media sosial seperti internet.
“Saya kira internet merupakan sarana positif untuk mengedukasi terhadap suatu pendidikan. Namun jika kurang literasi menggunakan internet secara sehat maka anak berpotensi terjerumus terhadap bahaya pornografi. Tentunya untuk menangkal semua itu terkait internet si anak perlu mendapatkan pendampingan dari orang tua yang cukup,” Jelas Danik.
Dia pun menilai seperti kasus kekerasan seksual yang dialami anak sekarang ini sudah menunjukan angka mengkhawatirkan bahkan bisa dikatakan darurat moral. Berangkat dari kasus Yuyun demikian pula Eno merupakan potret kebiadaban pelaku kejahatan yang semakin beringas. Tentua jelas Danik mengharap kepada pemerintah pusat maupun kalangan legislative untuk segera memperhatikan dengan seksama terhadap kejahatan seksual dengan segera membuat proteksi yang jelas.
“Mudah-mudahan draff undang-undang penghapusan kekerasan terhadap anak segera digarap para anggota DPR RI. Sehingga dengan munculnya undang-undang baru bisa memberikan proteksi terhadap korban seksual khususnya anak dan bisa memberikan efek jera terhadap si pelaku kejahatan itu sendiri,” pungkas Danik.