Perjalanan ke Gontor pertengahan Mei lalu bagaikan de;jà vu, perjalanan masa lalu yang tak terwujud. Perasaan saya memasuki Kota Ponorogo, dan terus melewati pinggir kota sebelum masuk Pondok Modern Darussalam Gontor (PDMG), yang selanjutnya disebut Pondok Gontor bercampur aduk, antara terharu dan bahagia. Setelah 35 tahun tertunda.
Visualisasi Pondok Madani saya peroleh setelah memasuki masa perkuliahan di Bogor tahun 1980-an dari media, buku, para alumni, dan kisah teman-teman yang pernah berkunjung ke sana.
Belakangan, makin jelas visualisasinya setelah membaca novel dan menyaksikan preview film ‘Negeri 5 Menara’, karya fenomenal Ahmad Fuadi, alumni Gontor. Saat itu, pertama kalinya saya berjumpa dengan KH Hassan A Sahal. Beberapa hari setelah preview itu, saya pun mengajak keluarga untuk menonton bersama. Tentunya, putaran hidup tak bisa diulang. Tak perlu ada yang disesali.
Sembari menanti waktu bertemu dengan KH Hassan A Sahal dan KH Syamsul Hadi, saya teringat permintaan Abah, demikian panggilan almarhum ayahanda semasa masih hidup tahun 1979. Setelah lulus SD tahun itu, saya diminta melanjutkan studi menengah dan tingkat atas ke Gontor. “Kamu akan dilatih menjadi pemimpin” kata Abah.
Saya menolak, lantaran kala itu membayangkan dunia pesantren bukan tempat saya bisa meraih cita-cita menjadi insinyur. Visualisasi pesantren yang pernah saya saksikan adalah bangunan tanpa listrik, jendela kecil, kurang bersih, dan para pimpinan pesantren tertentu yang suka merokok.
Abah saya yang bijak itu pun tak memaksa. Karena kesibukan, beliau tak sempat mengajak puteranya yang bandel ini berkunjung ke Pondok Gontor untuk memperkenalkan kondisi pesantren yang lain, dari yang saya bayangkan.
Saya bersekolah di sebuah SD di Pandeglang, kota kecil di Jawa Barat kala itu, empat jam perjalanan dari Jakarta, kala itu belum ada jalan bebas hambatan (tol). Kini, Pandeglang jadi bagian dari Banten sejak tahun 2000. Saat masih dinas aktif, Abah sering mengajak saya untuk keliling ke pesantren-pesantren di Banten, yang kurang lebih sama kondisinya. Namun, diam-diam Abah memberi kesempatan saya belajar langsung kepemimpinan di lapangan.
Setiap liburan kenaikan kelas, Abah juga mendukung saya mengikuti kegiatan pesantren kilat atau tinggal di pesantren beberapa minggu. Mungkin, sebuah “jalan tengah”. Peristiwa yang paling diingat adalah saya tak bisa menyaksikan tampilnya Maradona pada Piala Dunia tahun 1982 karena di pesantren tempat saya bermukim kala itu tak ada televisi. Namun, malam finalnya masih sempat “kabur” pergi menjelang sahur ke rumah terdekat dari pesantren, untuk menyaksikan Paulo Rossi mencetak gol ke gawang Belanda. Italia juara dunia.
Kembali ke Pondok Gontor. Perbincangan lebih dari dua jam dengan KH Hassan Abdullah Sahal dan KH Syamsul Hadi Abdan malam itu meyakinkan diri saya tentang peran nyata Pondok ini dalam mempersiapkan para pemimpin bangsa yang lahir dari masyarakat sejak berdirinya tahun 1926. “Mempersiapkan calon-calon pemimpin di masyarakat,” ujar KH Hassan tegas.
Penempaan kepemimpinan dilakukan dengan pembiasaan pada aktivitas ritual dan sosial, di sela-sela jadwal studi yang ketat di Pondok. Respek terhadap guru dan kakak kelas dibangun dengan keteladanan dan pembagian tugas untuk melatih disiplin. Semua santri mengambil peran. Semua tugas pelayanan di Pondok dibagi habis. Semua penting. Semua memperoleh peran yang berarti, bahkan peran di kantin dan dapur pun melibatkan para siswa. Komando kepemimpinan jelas.
Malam itu, saat kunjungan kami pas bersamaan dengan persiapan menjelang ujian kenaikan kelas. Hampir semua siswa berhamburan belajar di lapangan, masjid, di bawah menara, dan ruang-ruang terbuka. Para guru berkeliling dan melayani pertanyaan-pertanyaan siswa. Sungguh mengesankan.
“Pemaksaan” kebiasaan berdisiplin yang dibentuk pada usia remaja ini, rupanya menjadi salah satu kunci mengapa lulusan Gontor relatif memiliki karakteristik tertentu. Saya mengingat-ngingat wajah sahabat-sahabat dan kolega yang saya kenal dan pernah nyantri di Gontor. Mereka telah melalui penempaan sekolah kepemimpinan bangsa di Pondok ini. Saya kagum, Pondok Gontor telah mengambil peran nyata sebelum Republik ini berdiri.
Esok harinya kami bersilaturahim dengan Prof Dr KH Amal Zarkasyi di kampus Institut Studi Islam Darussalam (ISID) dan dilanjutkan dengan Ustaz Ahmad Suharto, alumni yang menjadi pimpinan Pondok Gontor Putri di Mantingan (Ngawi). Dari dua kunjungan itu, makin membuka dan memperkuat wawasan kami tentang bagaimana gerakan kebaikan ini dirawat dengan semangat khidmat alumni kepada Pondoknya, bagian dari pengabdian kepada Allah SWT.
Tata kelola dan manajemen pondok diwujudkan dengan memperhatikan berbagai aspek pendidikan siswa secara holistik dan memperhatikan kebutuhan para guru serta pengelola untuk hidup bermanfaat yang didukung perhatian pimpinan terhadap keluarga, pendidikan dan masa depan anak-anak mereka. Kebahagiaan melayani Pondok, dibangun dengan semangat khidmat para pengelola dan guru. Ada kewajiban mengabdi setahun, pasca lulus enam tahun di pondok. Sebuah penempaan karakter yang nyata.
Saya teringat pada semangat sejenis pada gerakan Hizmet yang saya pernah kunjungi yang digerakkan oleh Fethullah Gullen di Turki. Guru-guru PASIAD berlatar belakang sosial dan pendidikan yang tinggi mendatangi daerah-daerah di Turki dan berbagai negara bukan karena semangat mengejar finansial, melainkan khidmat untuk kemanusiaan. Namun, para pemimpin Hizmet juga memperhatikan keluarga para pejuang itu termasuk sekolah anak-anaknya yang didukung oleh gerakan infak dan kegiatan ekonomi untuk keberlanjutan gerakan.
Model kepemimpinan berbasis karakter, selain penguasaan keilmuan spesifik juga menjadi metode STEI Tazkia dalam pengembangan mahasiswa untuk menjadi calon-calon pemimpin dalam bidang ilmu dan amal Ekonomi Islam. STEI Tazkia yang didirikan oleh Dr M Syafii Antonio, nampaknya sejalan dengan metode pendidikan Pondok Gontor. Ada boarding selama setahun pada dua semester awal untuk membangun disiplin, pembangunan karakter dan matrikulasi Bahasa Arab, Matematika dan Bahasa Inggris. Selanjutnya, mahasiswa dapat memilih peminatan dalam salah satu bidang Ekonomi Islam.
Leadership is parenting. Integritas para pemimpin adalah rujukan bagi komunitas dan masyarakatnya. Tindakan bersuara lebih keras dari kata-kata. Santri-santri di Pondok Madani belajar kepemimpinan dari keteladanan dari pimpinan, guru dan kakak-kakak kelas mereka. Semua menempa diri untuk menjadi calon-calon pemimpin di masyarakat kelak. Penyimpangan atas pelanggaran nilai-nilai ilahiah dilakukan dengan tegas.
Untuk menjalankan tata kelola pimpinan Pondok, sejak didirikan menjalankan kepemimpinan Trimurti; kepemimpinan kolektif terdiri atas tiga orang Kyai. Saat ini, Pondok Madani dipimpin oleh KH Hassan Sahal, KH Syamsul Huda, dan Dr KH Abdullah Syukri Zarkasi, MA. Saat kami berkunjung, KH A Syukri Zarkasi berobat di luar Pondok. Syafakallah, amien.
Matahari penempaan kepemimpinan terus bersinar di Pondok Gontor dan ratusan pondok lainnya yang didirikan pengelola Gontor dan para alumni Gontor di seluruh Indonesia. Insya Allah tak akan padam selama Republik ini ada. Amien. Semoga ikhtiar para pendiri, pengelola dan alumni Pondok Gontor ini menjadi amalan yang terus mengalir kelak, amien ya Rabb.
*) Wakil Ketua Tazkia University College of Islamic Economic, mantan Dirut LKBN ANTARA.
| Detik Ramadhan