NGAWI — Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Agama Islam (IAI) Ngawi menyelenggarakan Simposium dan Pelatihan Islam Moderat yang bertema “Nasionalisme Ditambah Bismillah, Itulah Islam,” Sabtu (15/12/2018) di Auditorium Kampus IAI Ngawi.
Ratusan Pengurus OSIS dan ROHIS se-Kabupaten Ngawi Ikuti Simposium dan Pelatihan di IAI Ngawi dari 68 SLTA se-Kabupaten Ngawi. Tidak kurang dari 200 peserta yang mengikuti acara tersebut dengan khidmat.
Tiga pembicara sekaligus dihadirkan dalam simposium dan pelatihan islam moderat BEM IAI Ngawi, yakni
- DR. KH. Abdul Ghofur Maemun (Pengurus PBNU, alumnus Program Doktor Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang, dan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Anwar Sarang), membawakan materi Dasar-dasar Islam Moderat bagi Penguatan Kebangsaan dan Kemajemukan Indonesia.
- KH. Abdul Latif Malik, Lc (pengasuh PP Al-Muhajirin, Tambak Beras, Jombang) dengan materi Dasar-dasar Islam Ahlussunnah Wal Jamaah bagi penguat keislaman yang moderat dan pilar-pilar kebangsaan.
- Nur Kholiq Ridwan (penulis produktif dan pengamat gerakan islam) dengan materi Peta ideologi Islam transnasional dan tantangannya bagi keberagaman yang moderat.
Kegitan ini menurut BEM IAI Ngawi merupakan sebuah tindakan pencegahan adanya penurunan kepercayaan terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa dan sebagai salah satu agenda yang mampu merangkul peserta dalam memahami kembali bagaimana visi dan misi bangsa.
Adapun yang melatar belakangi panitia seperti dijelaskan oleh Presiden BEM IAI Ngawi, Miftakhul Ihsan menyelengenggarakan kegiatan ini adalah adanya hasil survey dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang pernah merilis hasilnya tentang persepsi masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia pada 28 Juni-5 Juli 2018 dengan jumlah responden 1.200 orang yang diambil secara acak di 34 provinsi di Indonesia.
Dari hasil survey tersebut, masyarakat yang pro terhadap Pancasila dalam kurun waktu 13 tahun terakhir justru menurun. Sebaliknya yang pro NKRI bersyariah meningkat. Publik yang pro terhadap Pancasila telah menurun sebesar 10% sejak 2005.
Hasil survey serupa pada 2005, 85,2% masyarakat masih mendukung Pancasila sebagai ideologi bangsa, sementara di tahun 2018 ini angkanya turun menjadi 75,3 %. Di sisi lain, publik yang pro terhadap NKRI Bersyariah terus mengalami peningkatan sebesar 4,6% di tahun 2005, 7,3% di tahun 2010, 9,8% di tahun 2015, dan 13,2% di tahun 2018. Sehingga, dalam kurun waktu 13 tahun, ada kenaikan persetujuan publik terhadap NKRI Bersyariah sebesar 9%.
Ihsan menyebutkan bahwa dengan melihat perkembangan teknologi yang semakin pesat, informasi dari berbagai sumber kini sangat mudah diakses oleh masyarakat luas termasuk siswa-siswi SLTA. Tidak bisa dipungkiri bahwa informasi yang beredar baik di media sosial maupun cetak acap kali mengandung dogma yang mulai melenceng dari ideologi bangsa, sehingga memberikan kekhawatiran dari berbagai pihak, mengingat ancaman-ancaman yang merongrong mulai terdistribusikan dengan berani dan masif.
“Tujuan kegiatan ini untuk membangun kesadaran pada diri pelajar tentang pentingnya menjaga Kebangsaan dan kemajemukan bangsa, mengenalkan dan membekali mereka dengan paham keislaman moderat yang menjunjung tinggi pilar-pilar kebangsaan Indonesia, dan menyiapkan kader-kader pemimpin bangsa di masyarakat,” ujarnya kepada redaksi KampoengNgawi.
Ihsan mengaku bahwa banyak pihak berharap kegiatan semacam ini dapat dilaksanakan secara berkesinambungan demi terbentuknya genarasi muda yang kukuh memegang ideologi bangsa, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh pemahaman islam radikal. (*/kn)