NGAWI – Sejarah memang sesuatu yang tak akan pernah berubah, meskipun apa yang terjadi apa yang telah mengganti, atau apapun yang menjadikannya berubah, sejarah akan terus menjadi sebuah catatan yang memberikan kita arti penting sebuah kisah.
Sejarah Perempatan Kartonyono Ngawi, ditulis dalam sebuah akun media sosial oleh seorang warga asli Ngawi, mengingatkan kita akan cerita tentang asal mula nama perempatan besar di Ngawi ini.
Perempatan Kartonyono saat ini menjadi jantung keluar masuk ke Kota Ngawi. Sebuah perempatan lampu merah (bangjo) arah barat ke Solo, Selatan ke Madiun, Magetan, arah Timur menuju Caruban-Surabaya, dan ke utara merupakan gerbang menuju bumi orek – orek.
Tahun 1983, awalnya perempatan ini masih berupa sebuah pertigaan. Jalan arah ke timur itu belum ada, jika dari Ngawi ingin ke arah timur, masih harus melewati alun – alun Ngawi dan melintas melewati Jembatan Dungus dan menuju timur arah Surabaya.
Di pertigaan ini, dulunya memang merupakan sebuah jalan tusuk sate dari arah Solo. Ujung tusuk sate ini ada rumah kayu jati besar, bahkan dalam ukuran yang besar dalam masa itu yang merupakan tempat tinggal seorang yang kaya raya, namanya adalah Bapak Kartonyono, seorang Kepala Desa Margomulyo (sekarang kelurahan) yang menjabat antara tahun 1960-1970an yang sangat terkenal di Ngawi.
Kediaman dengan nuansa khas jawa ini kemudian dihuni oleh sang putra yang bernama Bapak Saeran yang juga menjabat Kepala Desa sebagai pengganti dari Kartonyono.
Perkembangan pembangunan mengharuskan rumah ini digusur oleh pihak pemerintah untuk dibuat jalan tembus menuju arah Caruban-Surabaya. Sekitar tahun 1983, jalan ini sudah bisa dilalui dengan adanya jembatan Dungus baru yang melintas di atas kali Madiun yang kala itu diresmikan oleh Menteri Penerangan, Harmoko.
Itulah Sejarah Perempatan Kartonyono Ngawi. Sejarah kenapa namanya perempatan Kartonyono yang awalnya berupa rumah besar dari kayu jati.
Sumber: Tulisan berbahasa Jawa oleh Gus Ndiwek (Sigit Marbangun).
Editor : KampoengNgawi