Dalam kemeriahan Indonesia yang mendapatkan medali emas di Olympiade Rio2016 yang diperoleh dari cabang olah raga bulutangkis dengan tim ganda campuran Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir , salah seorang pemerhati ngawi dan olah raga memberikan ulasannya dengan tajuk Forsmawi dan Indonesia. Dia adalah Yonathan Kakung Indrawan , dalam akun Facebooknya memberikan paparan mengenai kenangan organisasi dan pemaknaan 71 tahun Indonesia, berikut ini tulisan lengkapnya.
Malam ini, dinihari setelah merayakan kemenangan Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir di Olimpiade Rio, salah satu grup WA saya ramai. Grup WA yang berisi sesama alumni STAN dari kota yang sama, bernama Forsmawi STAN(Forum Silaturahmi Mahasiswa Ngawi), mulai dari berbagi bahagia atas pencapaian emas di cabor badminton, lalu berlanjut pembicaraan ringan penuh canda yang khas. Khas karena kami tetap saling paham bagaimana harus bercanda satu sama lain setelah hampir (atau lebih) 10 tahun tak bertemu.
Hal-hal yang dahulu tampak biasa menjadi indah untuk dikenang. Saya masih mengingat bagaimana para perantau ibukota yang penuh kekurangan ini tetap kompak dan saling menjaga satu sama lain, membangun hubungan yang tanpa sadar seiring waktu berjalan lebih mirip sebuah keluarga baru. Yang senior turun tangan mengayomi, membagi pengalaman, menawarkan bantuan dan memberikan nasihat. Yang muda kreatif dan inisiatif, tapi tetap segan dan mau belajar . Di organda yang kecil inilah saya merasa kaya. Kaya pengalaman, kaya tawa, kaya wawasan hidup. Hampir seluruh personelnya aktivis organisasi kampus. MBM, BEM, BLM, Stapala, PMK atau juga Himpunan Mahasiswa Spesialisasi. Masing-masing dengan jiwa kepemimpinannya, prinsipnya dan kesibukannya. Tapi hampir saat malam hari kami tetaplah satu keluarga, dengan bungkusan nasi di depan kami, bersila menyantap makanan yang menunya disesuaikan dengan kantong, dan ngobrol sesudahnya (syukurlah waktu itu belum ada BBM, Android, Facebok dan sanak familinya).
Sepuluh tahun berlalu, malam ini sepertinya kami masih sama seperti dulu, hanya makin dewasa. Mereka tetap rendah hati, lurus, humoris. Jiwa kepemimpinan yang dulu masih tahap latihan dan samar, sekarang sudah makin kuat. Hidup telah menajamkannya bagi kami. Saya pribadi bersyukur pada Tuhan, dikelilingi orang-orang yang demikian pada masa kekurangan dan beberapa kali kesulitan. Mengingat masa-masa sulit saat itu, saya makin yakin bahwa Tuhan memelihara saya dengan cara-Nya, di sepanjang waktu, melalui apapun atau siapapun yang mungkin tak pernah saya pikirkan. Yang satu sangat peka ketika saya mulai makan indomi beberapa hari berturut-turut dan merangkul saya ke warung depan, yang satu mengajak saya berkeliling dan menyediakan telinga saat saya terlalu naif memandang cinta, dan dengan yang lainnya saya bisa menghabiskan berjam-jam ngobrol –dari sepakbola bahkan hingga tentang agama– hingga wawasan saya tak lagi selebar daun rumput.
Sepuluh tahun setelahnya, dalam keterpisahan kami, Tuhan memakai alat yang berbeda di waktu yang berbeda untuk memelihara saya hingga kini. Malam ini begitu indah bagi saya saat mengenang semuanya itu. Saya tersenyum dan ingin mengakhirinya dengan memejamkan mata sampai lalu ada satu kata yang mengusik membangunkan saya. Indonesia.
17 Agustus 2016, 71 Tahun
Ketika ada banyak ulasan mengemuka berisi kekecewaan terhadap bangsa yang harusnya beranjak dewasa dan maju ini, saya memilih bersyukur. Bersyukur bahwa bangsa ini berdiri dan tetap mengibarkan benderanya dengan gagah di tahun yang ke-71, mengingat seharusnya bangsa ini bisa saja tak pernah ada, atau sempat ada lalu telah tak lagi ada.
Saat bagai bayi yang baru lahir, para penjajah kembali lagi dengan agresi militernya, berpikir bahwa Garuda ini pastilah masih kecil dan tak terlalu kuat menghadapi gelombang serangan. Tak berapa lama bangkitlah para pemberontak dari dalam merongrong kestabilan bangsa ini. Terlepas dari sejarah seperti apa yang kita masing-masing percayai, tak akan bisa menghapus fakta bahwa selalu ada di tiap masa orang-orang atau golongan atau bahkan bangsa yang coba menjatuhkan bangsa ini. Pula, entah berapa kali bangsa ini mengalami masalah kemiskinan hebat, krisis dalam segala dimensinya, perpecahan dan jatuh bangun. Mungkin juga sudah tak terhitung berapa kali bangsa ini dipimpin oleh pemimpin-pemimpin (mulai dari atas sampai bawah) yang masa bodoh dan hanya berpikir golongannya. Semua alasan telah dipakai pula untuk memecah belah: Suku, agama, ekonomi, sepakbola, pilkada, pilpres, semuanya pernah dipakai untuk menunggangi ambisi saling hujat.
Syukurlah, malam ini bersama dengan tawa saya membaca chat di grup WA, Tuhan mengijinkan saya untuk tak hanya melihat ilalang itu, melainkan juga padang bunga. Memang tak terdengar senyaring konflik yang selalu jadi biang berita. Namun betapapun terpuruknya, selalu ada orang-orang yang jiwanya tulus dan murni untuk Merah Putih. Ada yang melakukannya dengan pulang dari luar negeri untuk berjuang mengangkat bangsa ini dari dalam. Ada yang menggemakan dengan lantang cinta tanah air melalui mimbar-mimbar agama maupun yang telaten pelan-pelan mengajarkannya pada anak-anak di dalam keluarga, Ada yang berdoa dan menangisi bangsa ini. Ada lagi yang berani muncul sebagai pemimpin aneh yang berani berbeda untuk tak mencemari perutnya dengan harta yang bukan haknya. Ada yang melakukannya dengan membakar kapal asing yang tak hormat dengan kedaulatan Indonesia.
Sungguh indah menyadari bahwa mereka ada di setiap masa sebagai petunjuk betapa Tuhan mengasihi negeri ini. Alih-alih menyesali mengapa Garuda belum bisa mencapai ketingian 15.000 kaki, saya bersyukur bahwa dia tetap terbang mengingat seharusnya mungkin saja dia telah terhempas angin, terjatuh dan mati.
Membuka salah satu kanal media berita online, lihatlah bunga itu. Di antara berita sidang pembunuhan, kontroversi salah angkat Menteri dan paskibraka, dan tumpukan hal menyedihkan lainnya, mekar satu bunga nan indah dan harum. Kali ini Tuhan tidak menumbuhkannya di sudut yang tak tampak. Ia sengaja menghadirkannya tepat di sana, di tempat dimana seluruh dunia sedang memandang. Merah Putih berkibar di Rio de Janeiro, dikibarkan oleh perjuangan dua orang yang jauh lebih banyak perbedaannya daripada persamaannya bagai perwujudan nyata tulisan di pita sang Garuda.
Dan benarlah bahwa bagian kalimat ini ada di tengah-tengah Pembukaan UUD 1945, sebagai pengingat bagaimana bangsa ini ada, dan sebagai cahaya harapan yang menjaga bangsa ini tetap berdiri.
“Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa.”