NGAWI — Tertarik dengan sebuah hal yang diiringi dengan kemauan untuk melakukan sesuatu lebih baik akan menjadikan kita bisa meraih hasil. Dalam hal apapun itu, kita bisa mewujudkan dengan diiringi prinsip fokus menjalankannya.
Seperti halnya Eko Cahyo Saputro, pemuda dari dusun Ngreco, desa Semen, kecamatan Paron ini. Awalnya ia tertarik dengan ayam hias yang dibawa oleh saudaranya saat pulang dari luar negeri, itu sekira 2012 lalu.
Sepasang ayam hias jenis golden pheasant yang merupakan kelompok unggas asal pegunungan Cina Barat atau yang lebih dikenal dengan sebutan ayam Hong.
Sejak saat itu, Maret 2012, Eko tertarik untuk membudidayakan ayam hias tersebut hingga saat ini dengan penuh ketekunan dan usaha yang maksimal. Sebagaimana dilansir juga di laman SariAgri, saat ini koleksi Eko sudah mencapai 80 ekor indukan dan 100an anakan.
Dari lahan awal sekitar 50 meter persegi, Eko kini telah menambah luasan lahan ternak hingga 1200 meter persegi dan dikembangkan juga di area desa Kletekan, kecamatan Jogorogo karena populasi ayam hiasnya yang semakin bertambah.
“Saat ini koleksi ayam hiasnya terdiri dari jenis yellow phaseant, golden phasean, plymouth rock, lady armhes, silkie, ameraucana, polish, sebright dan banyak jenis lainnya,” ujar Eko.
Eko menyampaikan untuk harga sepasang ayam hiasnya itu bervariasi, mulai dari Rp 8 jutaan sampai dengan harga Rp 10 jutaan, hal itu tergantung dari jenis dan kualitas bulu serta keindahan warnanya. Selain itu juga tergantung dari panjang/pendeknya ayam.
Ternyata, Eko tidak langsung berhasil melakukan budidaya ayam ini. Karena sebelum menekuni usaha budidaya ayam hias impor tersebut, Eko mengaku pernah bangkrut saat beternak ayam Bangkok yang saat itu terserang virus unggas.
Untuk bisa berhasil seperti saat ini, ia juga berguru pada para mentor dari Tibet, yang kini mampu mengatasi permasalahan tentang virus unggas.
Proses berkembangbiak ayam-ayam hias impor tersebut berbeda dengan ayam pada umumnya. Proses bertelurnya sangat tergantung musim, bisa hanya setahun sekali. Selain itu, telur yang dihasilkan pun tidak banyak, hanya 8 hingga 12 butir dan itupun tidak semuanya bisa menetas.
Dari sisi peminatan di Indonesia, ayam hias impor ini lebih potensial dibandingkan dengan ayam bangkok. Peluangnya juga sangat terbuka lebar. Jumlah pelanggannya yang terus bertambah, dari Sabang sampai Merauke. Sebulan, rata-rata Eko bisa meraup omset rata-rata Rp 80 juta.

“Di masa pandemi COVID-19 ini, permintaan dari tempat saya terus meningkat. Mulai dari Batam, Aceh, Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Jogya, Semarang, Malang, Sidoarjo, Surabaya, Denpasar, Balikpapan, Makasar, hingga Merauke,” terangnya.
Menurut Eko, beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam merawat ayam hias berbulu indah tersebut adalah iklim dan atap kandang. Ayam-ayam dengan harga tinggi tersebut terbiasa dengan iklim dingin, sehingga harus ada penyesuaian di Indonesia.
“Terutama jika musim kemarau panas terik seperti saat sekarang ini, bisa menghambat perkembangan ayam hias,” imbunya.
Lebih lanjut Eko menjelaskan bahwa dalam lahan ternaknya juga disiapkan kipas atau pendingin ruangan agar ayam-ayam ini tidak stres karena kepanasan. Bisa juga antisipasinya dengan penyemprotan air saat terik siang hari. Selain itu, hindari asbes atau seng untuk atap kandang. (*/cse)
___
** artikel ini kami koreksi nama peternak dari sebelumnya tertulis Eko Winarko menjadi Eko Cahyo Saputro, sesuai dengan konfirmasi kami kepada yang bersangkutan.