Bus Trans Putera Fajar yang mengangkut rombongan pelajar dari SMK Lingga Kencana Kota Depok mengalami kecelakaan maut di Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada Sabtu (11/5) malam.
Kecelakaan bermula saat bus melaju dari arah selatan menuju utara pada jalan yang menurun. Bus tersebut oleng ke kanan dan menabrak kendaraan merek Feroza dari arah berlawanan.
Bus dengan nomor polisi AD 7524 OG itu pun terguling miring ke kiri dengan posisi ban kiri di atas, lalu tergelincir dan menabrak tiga motor yang parkir di bahu jalan.
Bus yang berisi pulihan penumpang itu terhenti setelah menabrak tiang yang ada di bahu jalan arah Subang menuju Bandung tepat di depan Masjid As Saadah.
Sebanyak 11 orang meninggal dunia akibat peristiwa itu. Korban terdiri dari sembilan orang siswa SMK Lingga Kencana Kota Depok, seorang guru, dan seorang warga di sekitar tempat kejadian.
Polisi masih belum menyimpulkan penyebab pasti kecelakaan tersebut. Kepala Bagian Hukum dan Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Aznal menduga kecelakaan itu terjadi karena rem blong.
Aznal menyampaikan hasil pengecekan pada aplikasi Mitra Darat, bus tersebut tidak memiliki izin angkutan dan status lulus uji berkala telah kedaluwarsa sejak 6 Desember 2023.
Pembina Yayasan Kesejahteraan Sosial (YKS) SMK Lingga Kencana Kota Depok Muwardhi mengaku sempat mendengar keluhan bahwa kondisi ban dari bus tersebut terlihat sudah kurang bagus dan AC yang tidak berfungsi alias rusak.
Bahkan, bus nomor 1 itu mogok di tengah perjalanan. Kemudian diperbaiki dan kembali melanjutkan perjalanan.
Pengamat Transportasi Muslich Zainal Asikin mengatakan kecelakaan bus yang mengakibatkan belasan orang meninggal dunia itu merupakan cermin buruk transportasi dan keselamatan penumpang di Indonesia.
“Itu sudah bukan rahasia lagi karena sumber daya manusia yang berkaitan dengan operator itu tidak semuanya baik,” kata Muslich kepada CNNIndonesia.com, Senin (13/5).
Muslich menyebut di beberapa daerah dengan tarif angkutan murah, bus-bus pariwisata seringkali tidak memenuhi syarat. Bus-bus itu sebagian besar telah dilakukan perubahan pada karoseri.
Ia menilai penindakan terhadap perusahaan karoseri perlu dilakukan agar peristiwa maut itu tak berulang.
“Kalau mau ditertibkan bisa mulai dari ujung, mudah sekali. Kalau ada kejadian seperti ini ditelusuri aja langsung kepada perusahaan karoseri yang mengerjakan kalau perlu. Itu ditindak, kalau tidak ya tidak berhenti-berhenti,” ujarnya.
Menurut Muslich, jam kerja sopir bus pariwisata turut menjadi faktor terjadinya kecelakaan. Pemerintah mesti membuat aturan tegas yang membatasi sopir bus bekerja lebih dari 8 jam.
Di beberapa negara, kata dia, sopir bus pariwisata wajib memasukkan SIM hingga kartu sertifikasi sebelum mengemudikan kendaraan. Dengan demikian, sopir yang mengemudikan bus lebih dari 8 jam akan terdeteksi dan dijatuhi sanksi.
“Begitu saya akan mengoperasikan bus saya akan memasukkan kartu sertifikasi saya. Maka akan terhubung secara nasional. Pemerintah tinggal mengawasi secara online. Jadi begitu lebih dari 8 jam langsung dia kena sanksi. Kartu dia bisa diblok, dia tidak bisa nyopir lagi,” jelasnya.
Di sisi lain, kata Muslich, perizinan bus pariwisata di Indonesia sangat longgar. Padahal, perizinan merupakan salah satu bentuk pengawasan terhadap kendaraan-kendaraan tersebut.
Pemerintah Daerah bertanggungjawab untuk memeriksa apakah bus-bus pariwisata itu memenuhi syarat, salah satunya melalui Kir. Namun, hal itu tidak berjalan baik. Banyak oknum yang melakukan praktik kecurangan.
“Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa Kir itu kadang-kadang busnya tidak datang suratnya juga sudah bisa sampai. Itu banyak,” ungkap Muslich.
“Saya berhubungan dengan itu sejak tahun 70-an sudah lebih dari 40 tahun. Cukup banyak jumlahnya bukan hanya puluhan tapi ratusan, mungkin justru ribuan bus yang tidak memiliki perijinan yang memadai,” imbuhnya.
Senada, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Deddy Herlambang menilai pengawasan terhadap bus pariwisata begitu lemah karena tidak terakreditasi.
Apalagi bus-bus pariwisata tidak masuk ke terminal, sehingga Dinas Perhubungan dan pengelola terminal tidak bisa melakukan pengecekan.
“Manajemen keselamatan kita lemah karena seperti kemarin kita cek juga ternyata uji Kir-nya sudah habis,” ucap Deddy.
Deddy mengatakan kebanyakan masyarakat mencari bus pariwisata dengan tarif murah. Padahal, hal itu berisiko terhadap keselamatan penumpang.
“Yang murah itu pasti ada risikonya. Nah itu yang tidak dipikirkan,” katanya.
Ia meminta agar masyarakat lebih inovatif yakni melakukan pengecekan terhadap bus pariwisata dengan tarif murah tersebut.
“Penyewa harusnya memeriksa surat-suratnya itu, atau paling tidak meminta bantuan Dishub setempat untuk mengecek kevaliditas busnya itu benar atau tidak,” ujar Deddy.
Berlanjut ke halaman berikutnya…