Trinil adalah situs paleoantropologi di Indonesia yang sedikit lebih kecil dari situs Sangiran. Tempat ini terletak di Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, kira-kira 13 km sebelum pusat kota Ngawi dari arah kota Solo. Trinil merupakan kawasan di lembah Bengawan Solo yang menjadi hunian kehidupan purba, tepatnya zaman Pleistosen Tengah, sekitar satu juta tahun lalu.
Museum Trinil terletak di dusun Pilang, desa Kawu, Kedunggalar, Ngawi. Secara astronomi terletak pada 7.37444444S, 111.35805556E. Untuk menuju ke lokasi sebenarnya tidak terlalu sulit. Dari arah Jateng tinggal ikuti jalan raya menuju Ngawi melewati monumen Soerjo lanjut terus hingga lihat SPBU di kanan jalan, ciri-ciri SPBU-nya musholanya lumayan besar dan letaknya di belakang membentuk bangunan sendiri (mana kelihatan dong :p). Dari sana masih dilanjutkan lagi tapi sambil perhatikan jalan dan petunjuk. Intinya adalah belok ke jalan aspal pertama yang mengarah ke utara dari sana. Kemudian ikuti tu jalan hingga museum. Kalau dari Ngawi tinggal ke arah Jateng beberapa km, 15 km an gitu kalo gak salah (duh lupa). Kalau mo naik angkot juga gampang, banyak bis juga, tapi daerah tempat turunnya gak tahu namanya, nanti lanjut naik ojek atau jalan kaki 3 km
Pada tahun 1891 Eugène Dubois, yang adalah seorang ahli anatomi menemukan bekas manusia purba pertama di luar Eropa (saat itu) yaitu spesimen manusia Jawa. Pada 1893 Dubois menemukan fosil manusia purba Pithecanthropus erectus serta berbagai fosil hewan dan tumbuhan purba.
Saat ini di Trinil berdiri sebuah museum yang menempati area seluas tiga hektare, dengan koleksi di antaranya fosil tengkorak Pithecantrophus erectus, fosil tulang rahang bawah macan purba (Felis tigris), fosil gading dan gigi geraham atas gajah purba (Stegodon trigonocephalus), dan fosil tanduk banteng purba (Bibos palaeosondaicus). Situs ini dibangun atas prakarsa dari Prof. Teuku Jacob, ahli antropologi ragawi dari Universitas Gadjah Mada.
Di depan gedung museum terdapat dua replika gading gajah yang membentuk gerbang yang mirip dengan yang ada di Sangiran. Memasuki museum suasana yang ada terasa suram, ruang diorama cuma sebuah dan dengan pencahayaan seadanya. Hampir semua tulisan-tulisan keterangan yang ada terlihat sudah memudar dan tua. Waktu itu yang ada di museum cuma saya dan bapak penjaga, beberapa saat kemudian ada sekeluarga yang hanya foto-foto dan langsung keluar dan bapak penjaga juga keluar . Koleksi-koleksi di sini terkesan sedikit, yang paling menarik perhatian paling gading gajah dan diorama Pithecantrophus erectus, padahal bapak penjaga ngomong kalau masih sering ditemukan fosil terutama musim kemarau waktu debit Bengawan Solo sedikit. Ternyata temuan-temuan tersebut teronggok di gudang.
Jika melihat miniatur kompleks, seharusnya terdapat tempat cinderamata, tetapi masih minim yang berjualan. Jika dibandingkan dengan Sangiran, museum ini masih kurang begitu memberikan banyak koleksi. Museum Sangiran yang sekarang sudah sangat bagus dengan segala pembenahannya dan Museum Trinil yang sepertinya tidak pernah berubah sejak pertama dibangun dengan kesan suramnya, sepertinya juga mempengaruhi jumlah pengunjung yang ada dan terlihat mencolok di antara keduanya. Mungkin hal ini juga dipengaruhi status Sangiran sebagai World Heritage juga.
[columns count=”2″]
[column_item][image src=”https://kampoengngawi.com/images/wisata/museum-trinil-1.jpg” width=”300″ title=”” align=”left”][/column_item]
[column_item][image src=”https://kampoengngawi.com/images/wisata/museum-trinil-3.jpg” width=”300″ title=”” align=”left”][/column_item]
[/columns]
[columns count=”2″]
[column_item][image src=”https://kampoengngawi.com/images/wisata/museum-trinil-4.jpg” width=”300″ title=”” align=”left”][/column_item]
[column_item][image src=”https://kampoengngawi.com/images/wisata/museum-trinil-5.jpg” width=”300″ title=”” align=”left”][/column_item]
[/columns]