Warga Ngawi melintasi Sungai Bengawan Solo menggunakan perahu. Foto-Antara 2015
Kota Bandar Terpadu di Wilayah Pedalaman
Ada banyak kenangan sejarah yang tidak akan habis untuk digali jika berbicara tentang Ngawi. Sebagai daerah yang dilewati aliran Bengawan Solo, Ngawi menyimpan romansa sejarah lain tentang sungai, perahu, dan kehidupan manusianya di jaman lalu.
Sungai terpanjang di Pulau Jawa ini membelah sebagian wilayah Ngawi bagian utara yang berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah. Beberapa warga Ngawi di seberang sungai ini masih ada yang menggunakan perahu sebagai moda angkut untuk menyeberang yang tentunya sangat memperpendek jarak.
Sekitar tahun 1970-an, Ngawi adalah kota bandar terpadu di wilayah pedalaman, ada pelabuhan perahu besar Kaliloro tempat berlabuhnya perahu-perahu besar bongkar muat barang di Pelabuhan Sungai Bengawan Solo itu dan terdapat gudang-gudang tempat menyimpan barang. Sampai sekarang bekas gudang-gudang itu masih ada.
Di halaman luas dekat gudang-gudang itu terdapat semacam terminal untuk Cikar pengangkut barang, dokar pengangkut penumpang, serta berada tepat di sebelah terminal terdapat Pasar Besar kota Ngawi sehingga transaksi ekonomi jaman dahulu sangat hidup dan ramai.
Terdapat lalu lintas perahu dari arah barat dan timur di Pelabuhan Perahu Kaliloro Ngawi ini. Perahu dari wilayah Cepu membawa Lanthung (minyak mentah/lenga patra) ditaruh dalam guci–guci besar. Perahu dari Desa Kerek membawa hasil bumi, ikan Loh, Tuak/Arak dalam genthong–genthong kecil, watu kerek/bahan pondasi bangunan.
Sementara itu, perahu dari wilayah Randublatung, Blora membaya kayu jati, arang, daun Jati, batu gamping, dan ternak sapi. Perahu dari wilayah Gendingan dan Kedunggalar sebelah utara membawa beras dan bahan-bahan pangan lainnya.
Barang-barang dari perahu tersebut selanjutnya dibawa dengan Cikar menuju Stasiun Paron untuk dinaikan Kereta Api menuju Solo atau Jogja dan Surabaya. Ada juga Cikar yang membawa barang dari Kaliloro menuju Magetan atau Glodhok. Sedangkan bagi para penumpang yang ingin melanjutkan perjalanan ke Paron, Geneng, dan Jogorogo tersedia Dokar yg tinggal pilih Jurusan mana yang akan diambil.
Tentunya semua itu saat ini tinggal kenangan, tapi bekas-bekasnya masih ada, karena terjadinya perubahan jaman dan teknologi transportasinya juga ikut berubah. Dengan kajian teknis dan transportasi moda modern, pelabuhan perahu Kaliloro itu tentunya bisa dihidupkan kembali dengan perahu-perahu bermesin, bukan hanya untuk meningkatkan geliat ekonomi di sekitaran Bengawan Solo namun untuk mengembalikan romansa sejarah yang memutar kenangan sekaligus menghidupkan denyut pariwisata Ngawi.
Sumber : Gus Ndiwek
Editor : KampoengNgawi