Saya Ajeng, seorang perangkat desa yang baru di Ngawi , daerah Ngawi Selatan. Saya cukup heran dengan beberapa kebiasaan yang menurut saya aneh, budaya mencibir, menggunjing, bahkan menggurui jadi membuat saya kurang bisa membawa diri, mungkin karena saya perempuan ya, sehingga cukup susah kalau hal ini tidak bisa saya bawa sampai ke hati. Bagaimana sebaiknya saya menyikapi hal ini?
Selamat ya Mbak Ajeng, telah terpilih sebagai perangkat desa yang baru di Kabupaten Ngawi. Amanah yang tidak ringan tentunya. Karena perangkat desa sekarang bukan hanya seorang pegawai yang menyelesaikan urusan administrasi di kantor desa. Melainkan juga akan menjadi tokoh masyarakat di desa tersebut. Apalagi dengan UU Desa no. 6 tahun 2014, Pemerintah Desa akan diberi wewenang lebih besar untuk mengatur desanya sendiri. Tentunya wewenang besar tersebut juga menuntut tanggung jawab yang lebih besar dari seluruh perangkat desa.
Salah satu tantangan pertama bagi mbak Ajeng adalah menghadapi kebiasaan yang cukup aneh, yaitu budaya mencibir dan menggurui. Kenapa sih sampai ada budaya mencibir dan menggurui ? padahal akan menyebabkan ketidaknyamanan, bahkan bisa menyakiti hati bagi yang dicibir dan digurui.
Ada banyak kemungkinan penyebab munculnya kebiasaan mencibir dan menggurui:
Penerapan budaya ewuh pakewuh yang salah kaprah. Budaya Jawa memang tidak membiasakan untuk bicara blak-blakan/apa adanya di depan. Maksudnya adalah apabila ada kekurangan pada diri orang lain, agar bisa disampaikan dengan bahasa yang baik dan tidak menyinggung/disampaikan lewat orang lain yang lebih tepat/dengan bahasa sindiran yang tidak menyakitkan. Tetapi yang selama ini banyak terjadi adalah kebalikannya. Tidak bicara apa adanya adalah dengan menggunjingkan di belakang/mencibir/menyindir yang menyakitkan.
Budaya mencibir, menggurui, dan bullying yang sekarang marak di berbagai media juga turut mendukung kebiasaan tersebut. Kalau kita melihat tayangan di televisi tentang perilaku para pemimpin (pejabat & anggota Dewan) dan selebritis, kita juga akan melihat banyak komentar yang saling mencibir dan menggurui.
Bisa jadi orang yang mencibir dan menggurui adalah korban cibiran dan sering digurui di masa lalu. Sehingga dia merasa sah-sah saja untuk balas mencibir dan menggurui. Atau bisa jadi orang tersebut dibesarkan dalam keluarga yang terbiasa menyindir dan menggurui. Bisa juga karena pengalaman selama bersekolah sering digurui dan dicibir.
Tuh kan…mbak Ajeng jangan khawatir, karena kita yakin budaya tersebut tidak hanya terjadi di desa mbak Ajeng. Bisa juga banyak terjadi di desa yang lain dengan bentuk dan kasus yang sama ataupun berbeda-beda. bahkan bisa dibilang sudah menjadi budaya yang biasa saja di sebagian masyarakat kita.
Nah Sekarang, bagaimana cara kita menyikapinya?
-
Jangan dimasukkan ke hati. Tapi, masukkan lewat telinga kiri, dan keluarkan lewat telinga kanan. Lalu tetap fokus ke pekerjaan. Apalagi mbak Ajeng adalah seorang perangkat desa. Sebagai pejabat publik di desa, kedepan mbak Ajeng akan banyak berhadapan dengan hal seperti itu. Jika sekarang masih dari teman sekantor, mungkin nanti akan berasal dari warga masyarakat juga, seiring kita berhubungan dengan banyak warga. Jika sekarang masih berupa digurui atau dicibir, mungkin nanti akan meningkat jadi dikritik, dibully, difitnah, ataupun dihujat. Seiring dengan semakin besar tanggungjawab mbak Ajeng sebagai pejabat publik di desa. Ini bukan tentang perempuan atau laki-laki. Kalo perempuan harus sensitif, atau mudah dimasukkan hati. Ini tentang tanggungjawab kita dalam pekerjaan. Banyak lo laki-laki yang tidak kuat diperlakukan seperti ini. Dan banyak juga perempuan yang kuat menerima perlakuan seperti ini.
Kita bisa belajar banyak dari Bu Risma, Walikota Surabaya dan Bu Karen, mantan Dirut Pertamina. Beliau berdua adalah pejabat publik dan perempuan. Digurui, dicibir, dikritik, difitnah, dan dihujat sudah menjadi santapan sehari-hari. Sakit? banget, sakitnya tuh disini. Tetapi beliau berdua tidak berhenti dengan memasukannya ke dalam hati. Tetap fokus bekerja dan malah berprestasi. Bu Risma bisa menjadikan Surabaya mendapat penghargaan sebagai salah satu Kota terbaik di dunia. Bu Karen juga berhasil membawa Pertamina menjadi 500 besar perusahaan terbaik dunia, satu-satunya dari Indonesia.
-
Kalau kita sudah tidak sakit hati, maka mari kita tingkatkan kualitas diri kita dengan tidak akan berniat membalasnya. Ini akan memutus mata rantai budaya menggurui dan mencibir yang turun-temurun tersebut. Apalagi kalau kita mau membalas setiap orang yang menggurui kita dengan senyum, dan didengarkan sebaik-baiknya.
Bisa jadi kita mendapat ilmu yang bermanfaat darinya. Karena ilmu dan hikmah bisa datang dari siapa saja, termasuk dari orang-orang yang tidak baik sekalipun. Terhadap orang yang mencibir, lebih baik kita balas dengan senyum. Sehingga kita tidak menyakitinya. Selain itu juga bisa menyehatkan raga & jiwa kita. Semakin banyak tersenyum, akan semakin sehat raga kita. Apalagi tersenyum di saat sedih, maka akan menyehatkan jiwa kita.
-
Kalau kita sudah tidak sakit hati dan bisa membalas dengan kebaikan, kini bolehlah kita mulai menciptakan lingkungan yang bebas menggurui & menyindir. Dimulai dari lingkungan terkecil kita. Bisa dari keluarga kita, teman-teman dekat, tetangga, komunitas, atau tempat kerja kita. Kita ganti menggurui dengan banyak diskusi dan saling berbagi. kita ganti mencibir dengan memuji dan mengingatkan. Kenapa harus memuji ? karena pada dasarnya setiap manusia suka dipuji dan dihargai. Termasuk kita juga kan. Karena itu, setiap ada kelebihan atau prestasi dari orang lain, mari segera kita apresiasi lewat pujian dan kata-kata positif. Sebaliknya bila ada kekurangan dari orang lain, kita ingatkan dengan budaya ewuh pakewuh yang tepat: mengingatkan langsung dengan kata-kata yang baik, mengingatkan lewat orang lain yang lebih tepat-dengan bahasa yang baik, atau menyindir dengan bahasa yang tidak menyakitkan. Semua yang keluar dengan baik dari kita, pasti akan kembali baik kepada kita.
Begitu mbak Ajeng, sedikit tips dari kami. Harus bersabar dan bertahap memang menyikapinya. Karena budaya buruk hanya bisa dilawan dengan budaya baik. Dan untuk membentuk budaya diperlukan waktu yang tidak singkat. Tidak bisa instan. Mulai dari diri kita sendiri, mulai dari lingkungan terdekat kita.
Pengasuh Konsultasi Psikologi :
Budiarna Nur Rochmad, SPsi
Sarjana Psikologi Universitas Airlangga
Konsultan Publik Pemerintahan
Konsultan Psikologi Anak – Surabaya
[quote]
Mau Konsultasi Gratis??? Silakan kirim uneg – unegmu ke [email protected] dengan subject : KONSULTASI dan temukan sharing dari pakarnya nya disini..
[/quote]