Gender dapat didefinisikan sebagai pembeda antara laki-laki dan perempuan yang telah dikonstruksikan kedalam konvensi kehidupan sosial. Istilah gender yang menurut Puspitawati mengacu pada kontruksi sosial budaya terhadap perbedaan status, fungsi, peran, serta tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi kebiasaan konvensi dari generasi ke generasi baru. Istilah gender menyangkut tentang kaidah sosial yang membedakan laki-laki dan perempuan.
Di Indonesia, konstruksi gender lebih mengarah kepada diskriminasi terhadap hak dan kewajiban perempuan, perempuan dimarginalisasi menurut konstruksi system patriarki. Dalam pandangan ini, perempuan dianggap sebagai individu yang tidak berdaya, tidak memiliki kekuasaan, terlalu emosional, dan tidak memiliki kecerdasan intelektual, sementara itu disisi lain laki-laki dianggap sebagai individu yang memiliki yang kuat, lebih pandai, serta pemberani.
Menurut Rueda (2009), patriarki menjadi akar permasalahan penindasan terhadap perempuan. Masyarakat yang dikonsrtuksikan sistem patriarki cenderung menempatkan laki-laki di atas perempuan. Sehingga laki-laki memiliki dominasi di atas perempuan, hal tersebut menyebabkan perempuan memiliki ruang yang terbatas dan diperbolehkan melakukan pekerjaan domestic seperti memasak, mencuci dan membersihkan rumah.
Ideologi patriarki dikonstruksi mulai dari lingkup keluarga, konstruksi gender yang dihasilkan di lingkungan keluarga membentuk peraturan umum yang sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut Milet (2009), orang tua berperan dalam mengajarkan anak berperilaku sesuai dengan jenis kelamin,menurut orang tua idealnya anak laki-laki berperilaku seperti anak laki-laki umumnya dan sebaliknya anak perempuan berperilaku seperti anak perempuan umumnya sesuai konstruksi gender yang melekat di masyarakat. Milet memjabarkan ideology patriarki ke dalam 3 kategori.
Pertama, temperament, merupakan komponen psikologi yang meliputi pengelompokan kepribadian seseorang berdasar pada kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang dominan. Hal itu memberikan kategori stereotype kepada laki-laki dan perempuan; seperti kuat, cerdas, agresif, efektif merupakan sifat yang melekat pada laki-laki, sedangkan tunduk (submissive), bodoh (ignorant), baik (virtuous), dan tidak efektif merupakan sifat yang melekat pada perempuan.
Kedua, sex role, merupakan komponen sosiologis yang mengelaborasi tingkah laku kedua jenis kelamin. Hal ini membedakan gesture dan sikap pada setiap jenis kelamin. Sehingga terjadi pelekatan stereotype pada perempuan sebagai pekerja domestik (domestic service) dan laki-laki sebagai pencari nafkah.
Ketiga, status yang merupakan komponen politis dimana laki-laki memiliki status superior dan perempuan inferior. Dengan demikan, anak perempuan akan diajari menjadi perempuan yang lemah lembut, harus bisa mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga, tidak boleh banyak berperan, dan tidak akan menjadi masalah bila perempuan tidak menuntut ilmu setingginya-tingginya.
Ideologi patriarki mengakar kuat di dalam kehidupan masyarakat menghasilkan ketidaksetaraan gender. Terlebih, kurangnya pemahaman tentang kesetaraan gender turut menyebabkan probelmatika berkembang lebih serius. Sihite (2007) beranggapan bahwa permasalahan dari hilangnya pemahaman kesetaraan gender menimbulkan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Di dalam buku berjudul A synthetised (biososial) Theory of Rape (1991) Karya Ellis, menjabarkan tentang The feminist theory of Rape yang berkaitan dengan posisi perempuan dalam tindakan pemerkosaan ataupun pelecehal seksual yang dialaminya. Pelecehan seksual berawal dari tradisi masyarakat yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih dominan diatas perempuan di segala segi kehidupan baik dari segi sosial,ekonomi, dan politik. Hal ini menyebabkan perempuan menjadi inferior dan rentan terhadap penindasan.
Kepuasan seksual bukan alasan utama penyebab pelecehan seksual, namun juga disebabkan oleh keinginan membuktikan dominasi dan kontrol yang absolut dari laki-laki terhadap perempuan. Ellis mengemukakan bahwa ketidaksetaraan gender berakibat pada rentannya perempuan mendapatkan pelecehan seksual, dengan demikian memengaruhi cara laki-laki dalam bertindak secara seksual untuk melemahkan perempuan.
Di Indonesia, kasus diskriminasi dan ketidaksetaraan gender sudah menjadi rahasia umum. Perempuan yang dicap sebagai individu yang tidak berdaya paling sering mendapatkan tindak pelecehan. Komnas Perempuan memaparkan bahwa jumlah kasus pelecehan terhadap anak dan perempuan dewasa tahun-tahun sebelum 2020 mengalami kenaikan mengalami peningkatan.
Pada tahun 2017 terdapat 348.446 korban dan pada tahun 2018 meningkat menjadi 406.178 dan mengalami peningkatan 65% di tahun 2019. Sementara itu, Data pelecehan seksual pada anak dan perempuan mulai tahun 2020 mengalami penurunan. Sebanyak 299.911 kasus yang dapat dicatatkan pada tahun 2020, berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus.
Perempuan hidup di dalam struktur masyarakat yang dikonstruksi oleh ideologi patriakisme memiliki kesempatan terbatas apabila dibandingkan dengan laki-laki. Akses yang dimiliki perempuan sangat terbatas dan menghalangi berperan aktif di beberapa aktivitas di masyarakat. Isu dan permasalahan kesetaraan gender tidak akan pernah selesai karena perdebatan akan selalu muncul.
Yang lebih memprihatinkan, justru perempuan ikut menghakimi perempuan lainnya yang terkena kasus. Hal ini malah menggambarkan keberpihakkan perempuan terhadap laki-laki, mereka ikut terjeerumus ke dalam system patriarki. Seharusnya, perempuan saling bergandengan tangan ketika ada kasus dimana perempuan menjadi korban pelecehan, dengan memberikan dukungan kepada sesame perempuan akan meningkatkan semangat juang perempuan dalam mencapai tujuan, agar bisa bertindak seperti halnya laki-laki.
Beberapa waktu yang lalu, dunia internet sempat dihebohkan dengan kasus yang menimpa beberapa public figure seperti Cut Syifa. Perempuan yang dituduh merebut laki-laki perempuan lain langsung mendapat komenan negatif di media online, bahkan sesame perempuan juga turut berkomentar negatif tentangnya. Padahal kasus tersebut masih belum bisa dibuktikan kebenarannya.
Kasus lainnya yang melibatkan bocornya video privasi Gisella Anastasya yang viral beberapa waktu lalu. Sebenarnya hubungan seksual merupakan hal privasi yang sifatnya tidak boleh dibocorkan apalagi disebarluas. Sayangnya, banyak komentar malah mencerca Gissela sebagai perempuan hina. Tak jarang ada juga perempuan yang memandang rendah kasus Gisella, padahal video tersebut bisa viral karena ada pihak yang sengaja membocorkannya.
Tindakan-tindakan perempuan yang saling menjatuhkan perempuan lainnya dan saling membandingkan satu sama lainnya. Manakah yang lebih cantik dan kemudian memandang rendah perempuan yang jelek. Perempuan tidak sadar membentuk standar peran perempuan, ikut dalam konstruksi patriakisme dengan mengkritik sikap dan keputusan yang diambil perempuan lainnya.
Perlu adanya kesadaran bersama bagi perempuan untuk saling memberdayakan satu sama lain. Dengan begitu kesempatan untuk menggapai kebebasan dapat diraih secara bersama-sama.Sudah saatnya meninggalkan cara pandang patriaki, membedakan satu perempuan dengan perempuan lainnya dan menetapkan standar perempuan. Dengan tumbuhnya kesadaran saling memberdayakan perempuan lainnya, perempuan tidak perlu hidup di bawah standar yang ditetapkan laki-laki, mereka bebas memilih keputusannya sendiri tak perlu orang lain mengkritiknya.
—-
Penulis : Fahrul Romadhon (Mahasiswa)