Menilik sebuah konten video yang ramai diperbincangkan beberapa hari terakhir, tentang uang panai – tradisi mahar di Sulawesi Selatan yang bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Lucunya, perbincangan itu menyentil kami di Ngawi. Katanya upah orang Ngawi yang hanya dua jutaan tidak cukup untuk sekedar ‘melamar’ perempuan Sulawesi.
Geli. Bukan tersinggung tapi karena ini bukan kali pertama bagi kami dipandang sebelah mata. Tidak juga marah, karena memang senyatanya itu nominal angka upah yang diterima. Namun dalam tulisan ini kami ingin menyampaikan bahwa hidup sederhana bukan berarti rendah dan murahan. UMR kecil bukan berarti layak jadi bahan tertawaan dan perbandingan.
Dua Juta yang diputar jadi Harapan
Pekerja di Ngawi memang digaji pas-pasan. Upah tahun ini hanya tembus 2,3 jutaan. Tapi pada angka itu, kami belajar menjadi manusia kuat yang punya martabat, bangun mendahului matahari, pulang mengantar petang dan tetap tatag membawa senyum pulang ke rumah.
Ada buruh pabrik, tukang bangunan, buruh tani, sopir pick up, kuli panggul di pasar – mereka semua tidak punya uang panai yang puluhan juta. Tapi mereka punya satu hal yang kadang lupa dihargai : tanggung jawab.
Sindiran itu Lucu, Tapi Tak Adil Sepenuhnya
Kami tidak ingin merendahkan tradisi uang panai. Kami hargai budaya manapun yang dijalani dengan tulus. Tapi ketika angka-angka itu menjadi bahan perbandingan untuk mengejek kelompok yang berupah minim, kami ingin berpesan: “Hidup tidak selucu itu, Mbak”.
Jika melihat realita untuk ditimbang, banyak pekerja Ngawi yang berhasil menikah dengan modal kejujuran, bukan kemewahan hingga rumah tangga mereka utuh menua sampai senja.
Para pekerja di Ngawi tidak mengharap hidup mewah, jangankan berharap, mimpi pun mereka tak ada keberanian. Namun mereka tetap berhak dan patut dihargai, bukan dari isi dompet tapi dari keringat yang dikucur setiap hari. Harapan mereka juga sama dengan manusia lainnya, hingga suatu hari anak buruh di Ngawi bisa melamar siapapun tanpa ditertawakan karena kecil UMR bapaknya.
Dari Pabrik dan Sawah, Kami Belajar Harga Diri
UMR Ngawi kecil, tapi harga diri adalah harga mati. Kami tidak berpunya uang ratusan juta tapi paham betul bagaimana rasa menabung seribu demi seribu untuk sekedar membelikan anak susu. Cinta mungkin tak sanggup dibayar dengan emas, tapi kami punya tekad kerja dan kesetiaan.
Boleh tertawa jika memang itu membahagiakan, tapi kami di Ngawi akan tetap membawa uang dua juta dengan kepala tegak. Meski sekedar buruh, kami bekerja tidak meminta-minta.