Presidenku, Ajari Aku Menaikkan Bendera Setengah Tiang!
Oleh Erna Dwi Susanti
Selamat pagi, Bapak yang berjas rapi di Istana Negaraku hari ini. Tujuh belas Agustus kata Almarhum Bapakku dulu, adalah hari kemerdekaan Negeriku. Aku masih ragu meski hanya sekadar menyebut nama negeriku, Indonesia. Khawatir salah sebut dan akhirnya masuk penjara. Biasanya, anak dungu seperti aku, tak pandai betul mengeja; kalau tak Indonesa – Endonesa – Indosia, ah apatah sulit melafalkannya. Tapi mohon ya Pak, jangan siksa aku seperti yang pernah dirasa Bapakku. Aku hanya anak ingusan yang sudah tidak bertuan.
Bapak, yang berdasi bersih. Senyum manis tersungging indah di sudut bawah wajah manis. Ah, tampak gagah sungguh penampilanmu. Kata kakekku, engkau adalah presidenku. Apalagi maksud presiden itu? Aku hanya sebatang jiwa yang ditemani kakek renta. Tak pernah dikenalkan baca apalagi definisi kata-kata. Aku anak jelata yang hanya punya nama.
Presiden itu pimpinannya para pemimpin, itu tebakanku. Kalau di kampungku ada namanya kepala desa, mungkin bapak adalah kepala-kepalanya Kepala Desa. Kepala Desa di kampungku orangnya sangat sibuk, mungkin bapak punya kesibukan di atas kesibukannya. Di kampungku, yang jadi Kepala Desa adalah orang shalih, gemar baca kitab suci di surau, gemar ikut kerja bakti, giat bersambang ke rumah-rumah kami meski di seberang lautan. Mungkin engkau jauh lebih sempurna ya pak Presiden?
Ah, Bapak. Aku lupa belum menyapakan diri dengan nama. Aku adalah Alit. Kakekku yang memberi nama. Aku masih sepuluh tahun di 71 Tahun Indonesia merdeka ini. Tapi jangan salah pak Presiden, kecil-kecil gini aku sudah bisa mandiri, bisa mencari uang sendiri, tidak mengandalkan belas kasihan dari negeri, terlebih dengan jalan korupsi. Mengemis dan mengamen pun sudah aku syukuri, setidaknya aku masih punya nurani untuk tidak menzhalimi.
Pak Presidenku, di seberang jalan itu ada jembatan bukan? Di kolong kecil yang tak meneduhkan itulah kini aku tinggal. Di pangkalan seberang itu biasa aku mangkal. Tapi tolong ya pak, jangan usir aku dan kawananku dari jalan penghidupan ini. Aku tak seberuntung keponakan ataupun saudara bapak. Yang bisa hidup dengan senyum merekah bungah. Mengais rezeki di jalanan bukanlah keinginan tapi menjadi kewajiban. Karena negeriku baru mencari jalan menuju kesejahteraan rakyat katanya.
[quote]
Jabatan kecil ini tak sanggup menggapaimu di sana presiden. Bertandang di istana saja aku tidak pernah bisa. Lagi-lagi seruan sadis dan galak yang aku dengar “Sudah pergi sana!”. Waktu aku belajar ngaji di gubug ustadz Mahmud, diceritakan padaku khalifah Umar tampil memimpin dengan sangat santun dan dermawan. Ternyata aku salah, presidenku bukanlah Umar.
[/quote]
Pak presiden, beberapa jam lagi katanya ada upacara penaikan bendera. Memperingati kemerdekaan Republik Endonesa, Indonesa, eh Indonesia. Tapi sungguh, tak paham betul apa yang harus aku khidmati, tak mengerti benar apa yang sepatutnya aku lakukan. Hormat gerak pada bendera yang juga ada di sana? Atau sekedar senyum tipis melambangkan bahagia negeri ini peringati merdeka?
Presiden, aku hanya ingin belajar. Pada mula melipat bendera, menata tali hingga menaikkan bendera pada tiangnya. Tapi pak, aku tak bisa. Aku tak takut jika disalahkan pada nantinya. Biar bahagiaku di hari merdeka ini tampak sempurna, mengimbangi jas rapi bapak pagi ini, ajari aku pak, menaikkan bendera dengan tinggi setengah tiang saja.