Profesor Dr. Suryanto M.Si. adalah salah satu putra terbaik Ngawi. Seorang tokoh yang saat ini mengabdikan diri di dunia pendidikan khususnya bidang psikologi. Berlatar belakang dari keluarga yang tidak mampu namun dengan semangat keras, saat ini beliau menjadi orang yang sukses dan menebar manfaat untuk umat.
Keterbatasan ekonomi sang ibu sebagai orang tua tunggal (single parent) menjadi alasan utama kebimbangan Suryanto untuk meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagai anak kecil, Suryanto enggan mengerti kondisi itu. Ia memprotes sang ibu dengan bersembunyi di atas plafon rumah selama dua hari. Maksud pun tercapai. Seluruh penghuni rumah mencarinya. Kehendaknya bersekolah SMP terkabul. Kini, si yatim itu berhasil meraih gelar guru besar bidang psikologi sosial di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Sang ayah, Sastrowiyono, meninggal dunia saat peraih gelar Master dan Doktor bidang psikologi dari UGM Yogyakarta itu masih berusia tujuh tahun, tepat saat duduk di bangku kelas 2 SD. Ibunya, Rusmini, yang kala itu berusia sekitar tiga puluh tahun, lantas dengan sekuat tenaga membiayai pendidikan kedua putranya.
[quote]
“Kalau pagi ibu jualan nasi pecel dan getuk ketela di pasar. Ya alhamdulillah cukup,” kenang Suryanto. Kakaknya, Harjito kini merupakan salah satu pedagang beras yang cukup besar di wilayah Ngawi. Sedangkan si bungsu, Suryanto, saat ini menjadi Ketua Program Diluar Domisili Unair-Banyuwangi yang sebelumnya juga pernah menjabat wakil dekan III Fakultas Psikologi Unair.
[/quote]
Suryanto adalah tipe anak yang berkemauan keras. Prinsip hidupnya simpel, “Kalau ada kemauan, pasti ada jalan. Dan pasti bisa terwujud.” Keyakinan itu pun terwujudkan. Ia bisa bersekolah di satu-satunya SMP di kecamatannya. “Di SD saya peringkat terbaik kedua. Jadi saya yakin mampu melanjutkan studi,” ujar Ayah empat anak itu.
Dengan segala keterbatasan, Suryanto mampu menamatkan pendidikan menengah pertamanya di SMP Karangjati Ngawi, dengan predikat lulusan terbaik. Sejak duduk di bangku SD dan SMP, setiap usai pulang sekolah, Suryanto mengembala sapi, satu-satunya harta warisan sang ayah, di lapangan dekat rumahnya. Saat itulah mantan anggota tim psikolog Persebaya itu memahami bahwa hidup adalah perjuangan mewujudkan cita-cita.
Prinsip itu ia terjemahkan saat bersekolah di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Negeri, Ngawi. Lantaran jarak tempuh rumah ke sekolah mencapai 20 kilometer, Suryanto memilih kost di dekat sekolahnya. “Namun dalam seminggu saya pasti menyempatkan diri pulang ke rumah dua kali untuk mengambil saku. Dengan sepeda ontel, saya biasa berangkat selepas subuh, sampai di kos jam enam,” kenang alumnus program Diploma 2 IKIP Negeri (sekarang Unesa: red) itu.
Suryanto kecil hidup di rumah keluarga besar (extended family). Karenanya meski kehilangan figur ayah saat belia, ia masih memeroleh curahan kasih dari paman dan bibinya. “Ya kalau tergantikan total sih tidak, tetapi peran pengasuhan bisa ditutup oleh saudara,” tandas Wakil Ketua Bidang Litbang KONI Propinsi Jawa Timur 2006-2010. Kendati demikian, pembiayaan hidup sepenuhnya ditanggung oleh sang ibu.
Ia tak pernah merasa minder meski berposisi yatim. “Mungkin karena saat ditinggal bapak, saya masih sangat kecil. Jadi hubungan dengan bapak belum terlalu intensif. Memang kadang saat melihat teman-teman bermain dengan ayahnya, saya teringat tentang bapak,” kata Suryanto.
Keterbatasan ekonomi sempat membuat Suryanto berkecil hati. Ibunya tidak mampu membelikannya buku-buku pelajaran. Namun ia tak kekurangan akal, ia mengajak teman sekolahnya untuk belajar kelompok. “Saking seringnya belajar di rumah teman, sejak SD saya sudah jarang tidur di rumah,” ucapnya.
Begitu pun saat duduk di bangku SPG. Untuk menutupi kekurangan ia sering sekali berpuasa. Jerih payah Suryanto berbuah manis. Ia meraih peringkat terbaik ketiga saat lulus SPG pada tahun 1982.
Bermodal kemauan, Suryanto yang dikukuhkan sebagai guru besar pada 4 April 2009, berangkat ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah. “Ya nekad saja. Saya meyakinkan ke orang tua. Nyatanya sanggup lulus SMP dan SPG kok. Saya bilang begitu ke ibu,” tukasnya.
Karena bercita-cita menjadi guru, Suryanto mengambil program D2 keguruan. Selepas itu berpindah ke Fakultasi Psikologi Unair untuk menempuh S1. Waktu kuliah, saku dari ibunya cuma cukup untuk transportasi. Selebihnya untuk membayar kuliah dan menutupi kebutuhan harian, ia memberi lest privat. “Ya alhamdulillah cukup. Hidup itu kan tinggal setelannya,” tegas pria separuh baya itu.
Tekad dan kemauan mengantarkan Suryanto pada puncak karir akademis. “Saya punya keyakinan untuk bisa. Namun bisa bukan hanya karena saya, tapi doa orang tua sangat berarti,” ujar peraih gelar Profesor tercepat di Unair menurut masa kerjanya yaitu lima belas tahun sejak pengangkatan sebagai dosen.
[quote]
Beranjak dari pengalaman pribadi, Prof. Dr. Suryanto, M.Si, berkesimpulan bahwa anak yatim sebenarnya tidak perlu banyak dibelaskasihi, tetapi diberi peluang. “Kenapa? Sebab harga diri! Kalau sering dikasih fasilitas, anak akan jadi tidak berdaya, dan memicu ketergantungan. Maka beri dia kesempatan. Saya merasa diberi kesempatan oleh orang tua untuk maju,” pungkasnya.
[/quote]
Sumber : Majalah Al Madinah
Editor : KampoengNgawi