Rekonstruksi Kehidupan
Oleh Sukamto
Lupa, adalah kodrat bawaan yang disertakan pada setiap manusia. Sebagai wujud kalau namanya ciptaan selalu tidak sesempurna penciptanya. Salah satu kebiasaan lupa adalah saat kita dihadapkan pada suatu yang baru, sesuatu yang kadang lebih meminta fokus perhatian dan pemikiran kita. Kesibukanpun juga terkadang mengantarkan kita pada lupa, karena sibuk orang lupa dengan agenda-agendanya yang terencana, atau bahkan dengan targetan-targetan hidup yang sudah melembaga. Sampai karena berkubang di tengah kesibukan seorang manusia bisa melupa pada Tuhannya, pada penciptanya.
Permintaan Pengeran (Tuhan) tidaklah terlampau dari batas kemampuan, sebagaimana Tuhan memperingatkan dalam Al Isra:67, “Dan apabila kamu ditimpa bahaya dilautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih.”
Sebagai manusia kita diberikan rambu-rambu untuk senantiasa menyeru dan mengingatNya. Baik dalam kondisi sempit ataupun kondisi berlapang, saat sedih maupun bahagia, saat sehat atau sakit. Senantiasa menempatkannya lekat dengan hati-hati dan pautan keimanan kita.
Ber-analogilah kita seperti halnya dalam berteman. Dengan sesama manusia, semakin sering intensitas komunikasi dan interaksi kita dengan teman akan semakin mendekatkan ikatan bathin kita padanya, kita butuh bantuan maka sang teman akan dengan ringan memberikan bantuan. Pun saat hamba mencoba banyak mengingat Tuhannya maka ia akan dekat dan didekati pula. Hingga saat pertolongan ia butuhkan, sewaktu-waktu tangan Tuhan akan turun meringankan.
Sebagaimana sabda Rasul kita juga memesankan bahasa nasehat, “Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah” (HR. Hakim)
Hingga harapannya, kita tidak termasuk ke dalam orang orang yang taat ibadah saat ada maunya saja dan melupa saat semua nikmat sudah ada. Menangis saat tertimpa musibah dan lantas terlalu bahagia dan lupa saat bahagia yang terasa.
Saat dalam kesibukan pun juga demikian, kala rutinitas padat dan traffict kerjaan tinggi keseringan orang lupa akan tanggungjawabnya untuk menghamba pada Tuhan, dengan alasan sibuk dan tidak ada waktu. Bergulat dengan rutinitas pagi, berangkat kerja pulang senja, yang tersisa hanyalah lelah semata. Monoton itu pasti, ketika sampai dirumah tinggal tenaga sisa dan akhirnya istirhat tidur selesai, lantas ia lengah pada tanggungjawabnya menghamba, ibadah tambahan sebagai penyeimbang.
Perjalanan dan kiprah cerita para cendikiawan tidak akan membuat kita lupa. Mereka menundukkan ketaatan di tengah hiruk pikuk upaya-upaya mereka untuk belajar. Mereka lelah itu pasti, tapi mereka berani berkomitmen pada diri untuk senantiasa memberikan hak hati dan jiwa untuk mendekat pada Tuhannya.
Kesibukan, kebahagiaan, kelapangan dan berbagai kondisi nyaman lain hendaknya tidak melenakan kita bahwa kita harus tetap mengingat Tuhan kita. Mengingatnya dalam setiap keadaan, di segala kesempatan. Marilah dari detik ini kita perbaharui, kita rekonstruksi kehidupan kita. Menjadi lebih manfaat, lebih berharkat, produktif hingga aktif turut berkontribusi menyelesaikan permasalahan hidup dan kehidupan.
Foto diambil dari Google