Fanatisme Religi Sastrawan Adalah Mencintai Tanah Air, Budaya, dan Agama. Foto-rsp
NGAWI – Sebuah Seminar Sastra dalam rangkaian acara Temu Sastra Jawa Timur tahun 2017 digelar di Gedung Eka Kapti Ngawi, Rabu (13/09/2017). Kegiatan ini mengundang 3 narasumber utama yang berasal dari berbagai daerah. Prof. DR. Setya Yuwana Sudikan Guru Besar sekaligus mantan Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya, Tengsoe Tjahjono – Dosen sekaligus sastrawan, dan Tedjo sastrawan sekaligus ulama dari Ponorogo.
Kegiatan yang dibuka oleh Sekretaris Daerah Ngawi, Drs. Mokh. Sodiq Triwidiyanto, M.Si itu seperti yang disampaikan oleh panitia, Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Ngawi, mempunyai tujuan menggali bidang sastra, Membangun dan memperkokoh kesusatraan di Ngawi, Memperkokoh nilai kemanusiaan dan kebangsaan, Menggalakkan literasi kesusastraan, serta Mendukung Ngawi Visit Year 2017.
Ketiga narasumber membawakan materi yang saling menguatkan, Setya Yuwana dengan Merawat Kebhinekaan Melalui Pendidikan Seni Budaya dan Sastra, Tengsoe dengan materi Sastrawan Berbeda Tetapi tetap Satu, sedangkan Tedjo dengan materi Menanamkan Sastra Kebhinekaan dalam pembelajaran di sekolah. Nampak hadir pula sastrawan ternama Aming Aminuddin yang membawakan karyanya di sela seminar.
Bagi seorang guru, menurut Tedjo, harus berkarya punyai hasil, mampu menumbuhkan motivasi/prestasi/karya yang luar biasa, dan mengungkapkan 3 filosofi/kata mutiara yakni:
- Menulis itu indah (konteks sastra)
- Berpikir merajut dzikir
- Berkarya melukis pesona
Dari uraian yang disampaikan oleh para narasumber, yang menarik adalah saat dibahas bahwa sastrawan membawa netralitas, fanatisme religi yang benar dari seorang sastrawan adalah mencintai tanah air, budaya, dan agama. Sastrawan hendaknya mengambil jarak dengan pemerintahan supaya bisa netral dalam karya. (kn/rsp/cse)