Kisah ini dimulai dari bahu jalanan saat lebaran. Seperti Ahmad Tohari yang pernah mengemas apik dalam ‘Mata yang Enak Dipandang’. Kisah tentang perjalanan seorang warga kampung yang miskin yang sedang menyeberang jalan. Karsim.
Adalah Karsim sebagai tokoh utama ‘Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan’. Kisah tragis-pilu yang menceritakan hiruk pikuk padatnya jalanan saat lebaran. Kisah yang ingin menyampaikan sebuah kritik sosial atas dilematis dan keprihatinan toleransi, harga diri, ketimpangan hidup orang (pura-pura) kaya dan (pura-pura) miskin, tentang martabat yang dikejar tanpa pertimbangan baik atau tidak, tentang kesengsaraan dan tentang kelaparan.
Dari sinilah, Karsim memulainya;
Karsim mendengar namanya disebut jelas di speaker masjid, lamat-lamat ia seksamai. Terkejut. Ia dengarkan namanya sebagai objek berita duka, kematian.
Tepatnya adalah kemarin, saat ia hendak menuju ke secuil sawah belas kasihan, ya secuil sawah yang bukan miliknya, bukan juga disewa. Ini hanya beberapa jengkal lahan, toleransi dari sungai yang menyurutkan airnya di musim kemarau, bekas surutan endapan itulah yang ia sebut dengan sawahnya, sawah di pinggir kali, di seberang jalan.
Kemarin itulah, tiga hari jelang lebaran di mana jalan raya padat luar biasa hingga tidaklah mudah bagi seorang Karsim untuk menyebrang jalan, mencoba mengais rejeki di sawahnya, sawah belas kasihan. Matanya sudah mulai rabun, tiga kali ia mencoba menyeberang namun selalu gagal. Selangkah mencoba menyeberang harus segera mundur lagi dengan tergesa. Klakson-klakson mobil dan motor ramai-ramai membentaknya.
Karsim melihat bahwa saat itulah wajah-wajah pengendara adalah wajah para raja jalanan, wajah yang mengusung semua lambang kekotaan, keakuan, keegoisan dan kemaruk. Pamer. Dan Karsim sendiri menyadari di mana ‘pamer diri itu penting’. Ia memberikan pemaklumannya, ia sadar diri bahwa dia adalah orang kecil yang bukan apa-apa, tak ada mobil, tak ada motor untuk kembali membalas bentakan klakson yang ia terima.
“Mereka yang sedang menguasai jalan raya tentulah manusia sesungguhnya, sedangkan aku hanyalah Karsim yang punya secuil ladang di pinggir kali,” sadar Karsim.
Karsim juga memahami ketergesaan mereka untuk segera sampai di kampung halaman, untuk segera bisa sungkem-sungkeman, silaturahmi dan itu semua ia benarkan sebagai suatu hal yang penting. Serta tak ketinggalan, lagi-lagi ‘pamer’ juga tak kalah penting.
Karsim penat terbayang tanggung jawab atas keluarganya. Tak segera ia menyebrang maka padinya yang hanya beberapa jengkal akan habis oleh burung sawahan. Itu artinya hanya singkong yang akan terus mereka makan.
Bersandarlah ia pada penguasa langit dan bumi, “Bapa langit, biyung bumi, aku menyeberang!, tekad Karsim.
Selepasnya ia tidak tahu apa yang terjadi. Hanya muara gelap yang dilanjutkan keindahan alam yang belum pernah ia singgahi. Mungkin itulah serambi-serambi surga.
Tapi lihatlah sejenak, di sana, di jalan raya, masih di tempat yang sama, ternyata Karsim berhasil menyeberang jalan saat arus mudik lebaran. Motor dan mobil sudah tidak ada yang membentaknya, semua sama-sama takzim menghormatinya. Mereka berhenti hingga sempurna Karsim sampai di tepi jalan seberang.
Oohh, bukan, ternyata bukan berhasil menyeberang. Karsim berhasil diseberangkan di atas keranda hijau yang tengah dipikul tetangga secara bergantian.
Dan akhirnya Karsim diantarkan ke sana, sebuah lahat peristirahatan, ia lebaran di kampung halaman. Tersenyum kaget ia di sana, mobil motor yang kemarin membentaknya sudah tidak dikendarai manusia, ia menjumpai sopir itu seekor kera bertemankan manusia bertopeng tikus, serigala, beruk, dan munyuk.
“Ohh, itulah hidup. Selamat tinggal dunia”. Karsim akan menemukan toleransi yang lebih tinggi di kampung barunya ini.
Judul Artikel : Karsim Bilang Pamer Diri itu Penting
Oleh : Erna Dwi Susanti – menyadur kisah ‘Akhirnya Karsim Menyebrang Jalan’ dalam Antologi Cerpen Ahmad Tohari (Mata yang Enak Dipandang)