Saat membaca berita Radar Ngawi berjudul Bupati Temukan Sapi Sekarat edisi Sabtu pekan lalu, saya terperangah. Bukan karena lokasi TPH (Tempat Pemotongan Hewan) terbesar di Ngawi itu hanya selemparan batu jaraknya dari rumah saya di Pelem, tapi mengapa persoalan teknis seperti ini harus orang nomer satu di Ngawi yang turun sendiri ke lapangan? Perangkat organisasi teknis yang sudah dibentuk bupati lewat persetujuan dewan, harusnya yang mengeksekusi persoalan ini. Terus ngapain aja kerjanya selama ini? Padahal TPH itu sudah 4 tahun beroperasi.
Dan yang menarik, sudah 2 tahun izin TPH-nya tidak diperpanjang, kok ya masih dibiarkan beroperasi. Pembiaran ini yang membuka peluang aktivitas nakal dalam menyembelih sapi. Dan ternyata, kekhawatiran masyarakat terbukti. Bupati yang mendapat laporan akhirnya membuktikan dengan mata kepala sendiri ulah lancung jagal sapi. Kalau sudah cukup bukti begini, apa masih harus dibiarkan episode masyarakat Ngawi disuguhi daging sapi yang tidak layak saji? Instansi teknislah yang paling tahu soal ini.
Itu baru satu dinas teknis. Coba bayangkan, jika seluruh dinas teknis Pemkab Ngawi sukanya mendiamkan atau melakukan pembiaran jika ada persoalan. Tentu akan membuat Ngawi kiamat. Kalau sudah begini situasinya, tentu tidak baik bagi kelangsungan pemerintahan bupati Kanang. Sebab apa? Sebab kalau seluruh organisasi teknis di bawah kendali bupati itu mandul, alamat persoalan ini akan mbandil (menyerang balik) ke bupati sendiri. Para kepala dinas, kantor, dan bagian akan memilih safe berlindung dibalik ketiak bupati daripada harus head to head menghadapi persoalan pelik di depannya.
Dampak luasnya, tentu akan membuat jatuhnya wibawa pemerintah daerah di hadapan masyarakat. Pertanyaannya: tersinggungkah jika ada aparat pemerintah saban hari dicibir oleh masyarakatnya? Akal sehat pun akan langsung menjawab: tidak!. Maka dari itu, agar terhindar dari cibiran masyarakat, alangkah eloknya aparat pemerintah melayani dengan sepenuh hati. Jabatan yang melekat di pundak tentu bersemayam juga konsekuensi yang tidak enak. Semakin tinggi jabatannya, semakin tinggi pula konsekuensi tidak enaknya. Konkretnya, enak dan tidak enak itu satu paket. Artinya jangan hanya mau menerima enaknya tunjangan jabatan, lantas membuang persoalan peliknya. Ini namanya tidak konsekuen.
Seperti diberitakan, Bupati Ngawi Ir Budi Sulistyono menggeropyok aktivitas cara penyembelihan ilegal di TPH Desa Pelem, Kelurahan Pelem, Ngawi. Bersama Kadin Peternakan Sunito, Plt Kasatpol PP Rahmat Didik Purwanto, serta anggota Polres, bupati mendapati 4 sapi yang tengah diglonggong. Dua sapi ditemukan sudah dalam kondisi mati, dua sapi lagi kejel-kejel alias sekarat. Sayang, para eksekutor yang berjumlah 6 orang lari tunggang-langgang begitu tahu yang datang adalah rombongan bupati.
Yang pantas ditelaah, mengapa dinas peternakan mengeluarkan izin TPH di lokasi tersebut. Padahal tidak jauh di TPH itu berdiri megah RPH (Rumah Pemotongan Hewan) milik pemkab Ngawi. Apa ingin membuat RPH tandingan. Tentu lucu kedengarannya. Lebih lucu lagi, jarak antara TPH dan RPH itu hanya dipisahkan oleh pagar saja. Bisa pembaca bayangkan, jauh tidak itu jaraknya? Hanya dibelah oleh pagar saja. Dualisme aktivitas ini yang membuat saya agak aneh. Meski demikian, saya tetap berpikiran positif. Mungkin pemberian izin tempat pemotongan ini akibat RPH tidak mampu lagi memberikan servis manis kepada para jagal sapi. Misal, kucuran air sebagai kebutuhan utama aktivitas pemotongan, kurang mencukupi. Asumsi saya ini sangat masuk akal sebenarnya. Sebab kalau air tersendat, para eksekutor sapi akan kesulitan membersihkan kotoran jerohan sapi. Dan suplai air yang tidak manis ini sudah sering terjadi.
Belakangan, asumsi saya keliru. Ternyata mereka tidak mau lagi melakukan pemotongan sapi di RPH karena takut aktivitas pengglonggongan kelihatan mencolok. Aktivitas glonggong-mengglonggong ini ternyata tercium juga oleh pihak-pihak yang hendak mencari untung. Hampir tiap malam “pak ogah” rajin nyambangi minta setoran ketika aktivitas pemotongan sapi berjalan. Siapa yang rajin minta setoran? Para eksekutor (yang mungkin) tunggang-langgang itu sangat tahu soal ini.
Berkaca pada kasus glonggongan sapi ini, sebenarnya ada persoalan yang lebih substansial lagi. Apa itu? Sejak awal tahun 2000-an, sebanyak 50 KK warga di RT01/RW01 Pelem sudah bersungut-sungut kalau ditanya soal RPH tersebut. Limbah hasil RPH ini yang selama ini dinikmati warga. Selain soal limbah, kemanfaatan keberadaan RPH bagi warga seputar RPH nyaris tidak ada sama sekali. Kalau boleh sombong, rumah orang tua saya kebetulan hanya selisih 2 rumah dari RPH. Artinya, sudah 42 tahun lamanya saya menikmati sedapnya parfum yang dikeluarkan RPH itu. Sebab sejak tahun 1972, saya sudah bermukim di dekat RPH.
Saya bisa terdampar di dekat RPH itu karena bapak saya dulu dipercaya pemkab Ngawi sebagai pemeriksa daging alias kir meester di RPH itu. Dulu, rumah potong itu komplet memotong aneka hewan mulai sapi, kerbau, kuda, kambing, dan babi. Tahun 70-an itu, saya sangat ingat bagaimana proses daging sebelum dilempar ke pasar. Daging yang rusak langsung diamputasi kir meester. Daging afkiran ini kemudian dikubur di area belakang RPH. Tidak itu saja. Darah sapi atau kerbau yang dipotong juga dikubur dan tidak boleh dijual. Itu dulu. Sekarang? Wallahualam.
Pelan tapi pasti, keseksian RPH mulai pudar. Sejak tahun 1970-an RPH sudah tidak menyembelih kuda. Berikutnya pada akhir 90-an, kerbau mulai tidak terlihat lagi dipotong. Seterusnya, kambing menyusul hilang. Mulai awal 2000-an hanya tinggal sapi dan babi yang disembelih. Untuk penyembelihan babi hanya seminggu sekali. Itu pun kalau ada pesanan. Kini RPH itu sepi dari aktivitas pemotongan. Kalau sudah demikian, retribusi apalagi yang bisa diharapkan lagi dari RPH?
Lantas, hikmah apa yang bisa diambil dari kasus glonggongan ini? Banyak. Pertama, yang melakukan kesalahan tidak perlu mengulangi lagi. Sebab mengglonggong sapi itu tidak benar, baik dari kacamata kesehatan dan agama. Selain dagingnya tidak baik bagi kesehatan, secara agama cara menyembelih dengan mengglonggong jelas salah. Selain menyiksa itu dosa, coba dirasa-rasa kalau cara mati para eksekutor sapi itu diglonggong, mau atau tidak? Kedua, menurut saya, kalau salah ya harus seleh. Konkretnya, melakukan glonggongan itu salah. Jadi, tidak perlu lagi mencari-cari kambing hitam. Jangan berpikiran, yang melaporkan ke bupati ini pasti ”pak ogah” yang belum dikasih setoran. Sebab untuk mengamankan aksi glonggongan sapi ini, tentu banyak memelihara “pak ogahnya”. Wajib diketahui saja, memelihara “pak ogah” itu sama saja memelihara macan. Sebab sewaktu-waktu, bisa saja macan itu menerkam pemeliharanya. Dan kini pemilik TPH di Pelem itu tengah merasakan “terkaman” macannya.
Berikutnya, sidak bupati dalam kasus sapi glonggongan ini bisa jadi pelajaran sekaligus pelecut bagi pejabat teknis yang dipercaya bupati. Tidak hanya di lingkungan dinas peternakan dan perikanan saja. Tapi menyeluruh bagi semua pejabat teknis. Intinya, jangan sampai kalah cepat dengan bupati untuk menuntaskan masalah yang ada. Untuk sampai pada tanggap ing sasmita memang perlu kepekaan. Peka merasa dan mendengar. Kalau dua rasa ini terasah dengan baik, saya yakin tidak ada lagi pejabat yang tutup mata dan telinga seperti peribahasa anjing mengg(l)onggong, kafilah berlalu. (*)
Aris Sudanang
Direktur Radar Madiun
Sumber : radarmadiun