Nasehat menasehati dalam hal kebaikan adalah bagian dari sebuah kepedulian. Terutama pada mereka, teman-teman dekat kita. Terkadang untuk menasehati seorang tak perlu berkata, ia hanya butuh tindakan. Sekecil apapun, jika sebuah keteladanan murni dari hati akan sampai juga ke hati, mengetuk dan akhirnya diikuti.
Menasehati teman, bukanlah perkara mudah. Butuh keberanian untuk menebas kecanggungan dan ketidakberanian (red : sungkan) yang kita miliki. Yang terbangun antara kita dan teman kita. Maka di sanalah, sebuah tindakan keteladanan cukup efektif untuk mendewasakan. Biar sama-sama belajar, belajar mendewasakan.
Kali ini kita akan mengisah, tentang sebuah makna belajar dan mengajarkan. Tentang persahabatan dan tentang bagaimana kita menasehati tanpa menggurui. Mengajak teman untuk segera bertindak bukan menunggu tanpa sebuah kepastian. Kita mengisah tentang sahabat dan pernikahan.
Membincang perihal nikah, menikah dan pernikahan. Memanglah benar bahwa menikah itu sebuah misteri dan ketetapan. Kapan, di mana dan dengan siapa sudah menjadi hak paten Tuhan untuk menentukannya. Selaku seorang ciptaan, ya tugasnya adalah berusaha, mencari dan meminta keridhoan-Nya.
Seperti tentang jodoh, nasehat menasehati dan mendewasakan teman. Mulailah kisah ini kita buka dengan perkenalan 3 sahabat akrab dan tengah lama berkawan. Randi, Ribben dan Patria. Ketiganya akrab dan berkawan karena pekerjaan, peternak. Status merital ketiganya pun masih sama, bujang. Usia tak anak-anak lagi, untuk standar berumahtangga sudahlah tentu mereka harus menginjak masanya, menikah.
Setiap kesempatan berkunjung ke rumah salah satu dari mereka, orangtua selalu menanyakan pertanyaan sama yang terulang. “Kapan nikah?”, berbuntut nasehat yang sebenarnya bernada sama juga, “Apalagi yang masih kalian cari? Pekerjaan sudah ada, kalau kemapanan itu urusan Tuhan yang sudah menciptakan kalian”.
Memanglah benar, rejeki itu juga ketetapan paten dari Tuhan. Peternak dan penjual hewan ternak seperti mereka adalah pedagang, mengandalkan keyakinan tentang keimaman. Mengimani bahwa para enterpreneur seperti mereka harus paham bahwa rezeki itu sudah ada yang mengatur, beda-beda di masing-masing orangnya. Jikalah hari ini dapat banyak keuntungan boleh jadi besuk merugi.
Kembali ke kisah kita tadi, bercandaan dan gurauan selalu menyertai jawaban mereka. “Yang muda dulu sajalah”, “Yang rumahnya paling bawah dululah (red : tempat tinggal di bawah pegunungan), terus yang tengah baru yang rumahnya paling atas”, dan jawaban ringan lainnya dari mereka. Mereka enjoy dengan kondisi demikian, hingga waktu berlanjut, tepat 4 tahunan mereka berteman belum juga ada yang memilih menikah duluan.
Tuhan akhirnya mulai menunjukkan pada ketiganya jalan terang. Sesuai permintaan dalam candaan yang sering-sering, menikahlah sahabat yang paling bawah lokasi rumahnya, Randi. Tak lama berselang Ribben yang pernah kandas kasih asmaranya tetiba diajak serius dan mengikuti jejak sahabatnya, menikah juga. Patria yang belum memutuskan untuk menikah juga.
Hakikatnya, ketiga dari mereka paham bahwa menikah itu sunnah yang sangat dianjurkan. Ibadah yang menyempurnakan. Namun masa empat tahun bersama dan dengan status bujang tidak terlampau mereka khawatirkan, karena waktu sering dihabiskan bersama dan tak ada kegalauan atas mereka. Namanya persahabatan tetap ingin muncul sebuah konformitas (keseragaman), jika sebelumnya mereka bersahabat bertiga masih lajang semua maka sudah saatnya mereka menggenap semua. Itu harapan mereka.
Berbagai upaya dilakukan oleh Randi dan Ribben, untuk memberikan motivasi, dukungan dan nasehat. Namun karena faktor tali persahabatan itulah dalam memotivasi, mendukung pun menasehati, mereka tak ingin menggurui. Sebuah tindakan kongrit dari keduanya semoga bisa menjadikan dorongan dan nasehat pada sahabat mereka, menjadikan Patria lebih mendewasa, mereka sedang belajar mendewasakan teman.(ske/ern)