Selama ini term moderasi beragama lebih banyak menyasar di kalangan intelek. Buku yang mengangkat hal tersebut utamanya untuk anak usia dini masih minim sekali.
Ada kendala dalam menjelaskan term moderasi beragama dalam mata pelajaran anak-anak, terlebih mereka masih dalam tahap awal mengenal agama. Kemampuan personal seorang guru sangat diandalkan untuk membumikan term moderasi beragama pada anak usia dini.
Buku moderasi beragama yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama tahun 2019 lebih banyak berbicara pada tataran ide filosofis dan belum menyentuh pada tataran praktis tentang bagaimana nilai moderasi beragama itu di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari pada anak usia dini.
Masuknya ideologi transnasional pada ranah pendidikan menyelipkan doktrin keagamaan yang ekstrim, radikal, intoleransi, bahkan menafikkan nasionalisme.
Sebagai contoh adanya wawasan yang diselipkan dalam dunia pendidikan, sehingga meracuni generasi bangsa yakni seperti menolak hormat pada bendera, enggan menerima dan mengaktualisasikan nilai-nilai pancasila, bahkan ada yang tidak menghargai perbedaan suku, ras, dan agama.
Hal seperti itu mudah sekali diterima oleh anak yang kurang memiliki karakter kebangsaan dan moderasi beragama yang kuat. Pendidikan karakter sangat penting, terlebih pada anak usia dini.
Jika mereka tumbuh dalam lingkungan yang harmonis, toleran, dan damai, maka perilaku dan pikirannya akan sehat dan bijaksana. Sebaliknya, jika mereka tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ujaran kebencian, kekerasan, intoleransi, maka akan berdampak pada pikiran dan perilakunya saat ini dan di masa depan.
Dalam menumbuhkan karakter moderasi beragama pada anak usia dini, metode pengajarannya bisa dengan yang lebih dekat dengan mereka. Misalnya dalam hal wawasan kebangsaan, bisa dengan media bercerita, bernyanyi lagu nasional, upacara, dan sebagainya.
Orangtua dan tenaga pendidik harus bersinergi dalam membangun karakter moderat pada anak usia dini. Anak lebih cenderung meniru apa yang dilakukan orang terdekatnya, seperti perilaku orangtuanya.
Model pendidikan yang baik salah satunya yakni mengedepankan sikap skeptis atau meragui. Artinya, anak dilatih untuk tidak mudah mempercayai sesuatu yang diterima. Bahkan pemikirannya sendiripun perlu untuk direkonstruksi.
Dengan hal itu, anak akan mulai memfilter dan memikirkan kembali sesuatu yang mereka dapatkan. Mereka akan mampu menyadari bahwa pendapat berpotensi salah. Pada akhirnya, anak akan memiliki sikap bijaksana, toleran, rendah hati, dan tidak mudah men-judge kesalahan dan perbedaan pada orang lain.
Adanya sikap bijaksana dan moderat dalam beragama sejak dini diharapkan akan mampu memberi oase baru yang sejuk dalam kehidupan beragama saat ini dan di masa depan.
___
Penulis : Dewi Mayasari, Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.