Jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput masih tinggi. Angka partisipasi politik saat pemilihan legislatif (pileg) 9 April justru terjun bebas saat pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli.
Data yang diperoleh Jawa Pos Radar Ngawi angka golput pilpres di kisaran angka 29 persen. Atau persisnya 216.807 jiwa versi desk pemilu kantor Kesatuan Bangsa Politik (Kesbangpol) setempat (selengkapnya lihat grafis). Sedangkan versi KPUD menyebut angka golput mencapai 216.374. ‘’Untuk pileg lalu memang partisipasi mencapai 75 persen.
Sedangkan pilpres menurun di kisaran 71 persen,’’ ujar ketua KPUD Ngawi Syamsul Wathoni, kemarin (13/7).
Toni berdalih meningkatnya angka golput itu disebabkan karena calon presiden dan wakil presiden yang dipilih adalah tokoh pusat. Secara psikologis maupun geografis jauh dari pemilih berbeda dengan pileg yang memilih tokoh lokal dan dikenal dekat oleh warga. Pun jumlah relawan dan tim sukses yang melakukan kampanye tidak sebanyak tim sukses caleg yang bertarung April lalu. Turunnya angka partisipasi juga disebabkan beberapa wilayah memasuki musim panen. Sehingga warga yang mayoritas petani memilih beraktivitas di sawah daripada datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
KPU juga mencatat ada tiga wilayah kecamatan menjadi penyumbang golput tertinggi. Yakni, kecamatan kecamatan Paron, Kedunggalar dan Widodaren. Tingginya angka golput di tiga wilayah itu lantaran banyak warganya yang bekerja di luar daerah. ‘’Ketiga wilayah itu mayoritas warganya urban karena berdekatan dengan jalur kereta api,’’ tambahnya.
Toni mengaku pihaknya sudah maksimal melakukan sosialisasi dengan sejumlah mengandeng sejumlah media, spanduk dan bende keliling. Hanya saja, dia berdalih cara tersbeut belum efektif. Sehingga membutuhkan strategi baru meskipun metode yang digunakan tergolong konvensional yakni lewat tatap muka. Cara ini diyakini efektif untuk mendorong partisipasi pemilih pemula, kelompok minoritas dan kelompok perempuan serta pemilih di kantung suara labil. ‘’Butuh ada strategi lanjutan seperti mengadakan kelas pemilu (klasmilu),’’ jelasnya.
Tingginya golput di Ngawi disesalkan oleh tim pemenangan capres dari dua kubu. Dwi Rianto Jatmiko sekretaris tim pemenangan Jokowi–JK Ngawi menuding sosialisasi KPU kurang maksimal. Berdasarkan dari pengamatannya KPU hanya memasang dua spanduk di masing-masing desa sebagai pengganti tatap muka. ‘’Satu desa dua spanduk itu sangat minim. Sehingga daya jangkaunya kurang maksimal dan tidak ada efeknya,’’ katanya.
Politisi PDIP ini menuding anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) juga tidak pro aktif menyukseskan pemilu. Padahal tugas mereka tidak hanya sebatas teknis administrasi pemungutan suara saja. Tetapi aktif mengajak masyarakat dan menyadarkan warganya akan pentingnya penyaluran hak politik dalam pemilu. ‘’Dan itu tidak dapat dilakukan karena rekrutmen terlalu mepet,’’ tegasnya.
Pendapat serupa juga muncul dari ketua tim koalisi merah putih Azwan Hadi Najamudin. Menurutnya, meskipun naik 4 persen secara jumlah sudah mencapai 22 ribu suara. Ini bukti penyelenggara pemilu belum memiliki team work yang baik. Apalagi beberapa komisioner baru saja dilantik sehingga terlihat kelabakan menjalankan tugasnya. ‘’Tiga minggu menjelang pilpres anggota KPU baru dilantik. Ini jelas berpengaruh pada performa KPU itu sendiri,’’ katanya.
Najamudin mengatakan angka golput seharusnya diantisipasi sejak dini. Karena KPU setiap lima tahun selalu menggelar pemilu. Namun berbagai persoalan masih saja terjadi. Mulai dari karut marut logistik dan juga meningkatnya angka golput. ‘’Kalau golput meningkat berarti kemunduran performa KPU,’’ ujarnya.
| RadarMadiun